Monday, 22 April 2013


Sabtu, 6 April 2013. para JAISHer mengikuti lomba membuat cerpen/ JAISH Short Story Competition.






Embun dengan butiran yang membulat terjatuh karena terpaan seseorang yang sengaja mengusiknya. Matahari kali ini menyambut pagi dengan sejuta cahaya untuk kembali mengajak semua manusia untuk bangun dari gelapnya malam. Namun Desi tetap cemberut melihat adiknya yang bermain di taman dari kejauhan. Padahal hari ini adalah hari minggu. Namun bukan itu yang membuat dia sedih.
Desi pun langsung berlalu dari tatapannya ke taman. Dia langsung menyambar handphone-nya di atas kasur. Dengan sigap dia mencari nama temannya untuk ditelpon.

“assalamu’alaikum… sal kamu dimana??” Tanya Desi,
“wa’alaikumsalam aku masih di rumah sih mau berangkat ke bandara sekarang.. ada apa Des??” jawab salma dengan nada kecapean.
“sal, kamu beneran mau pindah.. aku aku aku gak mau kamu…” desi pun mulai meneteskan air matanya.
“des, jangan nangis des aku ke Malaysia Cuma mau sekolah kok.. sebenarnya bukan kehendakku untuk sekolah disana, sebenarnya aku mau sekolah disini bareng kamu, tapi aku hanya menuruti apa kata orangtuaku” jawabnya dengan sedikit tegar.

Salmapun juga tak tahan untuk meneteskan air matanya. Sebenarnya mereka bersahabat semenjak menginjak sekolah dasar. Namun kali ini disaat mereka menginjak bangku SMA dikelas 10 Salma ditarik orang tuanya untuk sekolah di luar negri. Salma juga telah berusaha meyakinkan orang tuanya untuk tetap di Indonesia. Namun hasilnya Salmapun tetap harus sekolah di Malaysia.

Akhirnya dengan berat hati Desipun mengikhlaskan sahabatnya itu sekolah di negri jiran. Dengan harapan suatu saat pasti bertemu kembali.

“sal sudahlah kamu jangan menangis juga.. aku ikhlas kok kamu sekolah di sana, namun aku harap kamu tetap ingat aku disini. Aku sebenarnya Cuma takut kalau aku gak punya temen lagi di sekolah dan ngingetin aku kalo aku salah. Baik – baik ya disana” kata Desi dengan perasaannya yang berusaha kuat menahan tangis.

“iya Des, aku juga nggak akan lupa ada kamu di Indonesia. Kamu ajak aja siapa saja di kelas pasti mereka mau kok temenan sama kamu. Do’akan aja aku sering- sering pulang hehehe ” jawab salma dengan tawanya yang lembut.
Akhirnya mereka pun beraktifitas kembali di hari berikutnya. Salma di Malaysia dengan kesibukan sekolahnya yang padat. Desi di Indonesia dengan kesibukan sekolahnya juga. Dan merekapun  tak lupa untuk terus berkomunikasi setiap minggu. Walaupun hanya lewat handphone, namun mereka berdua tetap merasakan kehangatan persahabatan yang tak putus itu.
--------------------------©--------©--------------------------
3 tahun kemudian …
 Dua tahun terakhir Desi dan Salma mulai longgar untuk berkomunikasi. Mungkin karena padatnya tugas sekolah membuat mereka lupa atau juga karena biaya komunikasi ke luar negri yang mahal membuat Desi enggan untuk berbicara lagi dengan Salma.

Namun yang membuat Desi berbeda adalah dia semakin tidak mengontrol kehidupannya. Hidupnya semakin suram karena arus pergaulan teman – temannya yang tidak karuan. dan orang tuanya tidak memperdulikan dia lagi karena orang tuanya merasa bahwa dia itu sudah besar dan tidak perlu diatur lagi. orang tuanya hanya memberikan uang dan uang, tanpa peduli uangnya akan digunakan untuk apa.

Hari ini hari minggu, Salma sangat senang karena hari ini dia akan pulang ke Indonesia. Diapun segera menelpon Desi untuk memberikan berita baik. Namun berkali – kali dia menelpon Desi selalu jawabanya ‘nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi’. Salmapun mulai khawatir mungkin ada sesuatu yang terjadi dengan temannya itu. Diapun segera membereskan barang-barangnya untuk pulang ke Indonesia.
-----------------©-------------©--------------------
Desi ternyata telah berganti style. Seluruh kamarnya penuh dengan pernak – pernik yang sangat gaul, bermerk dan mahal. Dan lebih parahnya teman- teman yang bersamanya adalah orang yang tak tau belajar, tidak peduli dengan lingkungan apalagi dengan keluarga. Hanya mementingkan dirinya untuk memuaskan keinginannya.

Desi ternyata pergi ke sebuah tempat gelap dan suram dimana semua orang yang ada didalamya selalu bergoyang dan bermabuk-mabukan. Dan Desi menikmati itu semua dan terus minum barang haram tersebut hingga dia sudah tidak menyadari apa yang dilakukannya.

Salma yang selama perjalanan di pesawat tidak tenang dan ingin segera sampai di Indonesia. Setelah sampai dibandara Salma langsung menyambar handphonenya dan menelpon Desi. Dan salma senang karena handphonenya nyambung dan ada kemungkinan untuk diangkat.

Desi yang melihat handphonenya dengan sempoyongan mengangkat handphonenya.
“assalamu’alaikum Desi kamu dimana des.. kenapa kamu gak jawab telponku tadi pagi” Tanya Salma yang mulai panic.
“hah kamu siapa?? Aku sedang bersenang – senang disini kamu mau ikut gak .. kita akan bersenang – senang dengan yang lain” jawab Desi dengan melantur.
“DESI!! aku serius kamu dimana.. jangan bilang kamu sedang ditempat disko lagi astagfirullah Desi aku akan segera ke sana” dengan sigap dia pun meluncur sendiri tanpa pamit kepada orang tuanya.
--------------------©-----------©--------------------
Salmapun sampai ditempat. Halaman tempat suram itu sepi namun saat memasuki ke dalam, dia disambar oleh pria dalam tempat itu.

“hey kamu wanita berkerudung ngapain kamu disini?? Mau main kedalam” Tanyanya dengan senyum licik.
“saya tidak akan pernah mau kesini.. saya mau mencari teman saya” jawabnya tanpa memperhatikan bahwa dia akan diserang.

Namun saat dia melihat dia akan ditarik dia langsung berlari dan masuk kedalam tempat suram itu dan segera mencari Desi yang sedang tak sadar. Salma yang sedari tadi mencari bingung karena ada banyak sekali orang dan berhimpit-himpitan. Akhirnya Salma menemukan Desi yang sedang memegang botol minuman keras. Dengan sigap Salma menarik Desi hingga botol yang dipegangnya pecah. Pecahnya botol itu membuat suasana menjadi tertuju ke arah Desi dan Salma.

“Hey kamu wanita berkerudung, ngapain kamu disini …. Mau ikutan sama kita-kita” ocehan seorang pria yang sedang asik bersama seorang wanita.

“jangan dekati saya, saya hanya mau menyelamatkan teman saya dari tempat suram ini… saya tidak mau teman saya ternodai oleh kalian.. BIARKAN SAYA KELUAAAAR !!!” teriak Salma dengan lantang.
Namun usaha Salma sia-sia semua orang yang marah karena ucapannya mengerubunginya dan ingin menghabisi dia. Desi yang melihat Salma dikerubungi dan mulai dihajar perlahan mulai sadarkan diri. Desi seakan-akan berusaha mengingat wajah wanita yang sedang dihajar itu.

Satu per satu Salma dipukul dan ditendang dengan tidak lazim. Namun akhirnya akal sehat Desi mulai sadar, dan segera mengambil Salma dan menggendongnya keluar. Sambil berlari dan berteriak meminta tolong.
Sirene mobil polisi bordering dan mengahamburkan semua orang yang berusaha mengejar Salma dan Desi. Dengan cekatan pak polisi menangkap semua  orang yang berhamburan. Dan salah satu pak polisi tersebut menghampiri Desi yang sempoyongan menggendong Salma. Lalu pak polisi itu berkata,
“apa yang terjadi pada temanmu yang kamu gendong itu ??” Tanya pak polisi itu,
“dia tadi dihajar habis-habisan oleh orang-orang yang ada ditempat itu pak..” dengan nada terengah-engah Desi menjawab pertanyaan pak polisi tersebut,
“apakah dia pingsan ?? mari masuk ke mobil polisi yang itu. Bilang untuk diantarkan ke rumah sakit terdekat” sigap pak polisi,
“iya pak terima kasih atas bantuannya” kata Desi dengan tersenyum.
Dan pak polisi membalas dengan hormat dan senyum tegarnya. Lalu Desi segera bergegas menghampiri mobil polisi yang tunjuk oleh pak polisi tadi dan segera pergi membawa Salma meluncur menuju rumah sakit terdekat.
“Sal tahanlah sakitmu. Kita akan segera ke rumah sakit” bisik Desi dengan air mata bercucuran.

To be continued…..

Air mata bahagia mengalir dari ujung matanya, bibirnya pun tersenyum lepas nan ikhlas. Ya, itulah ekspresi ibu saat melahirkan aku dan kembaranku 20 tahun lalu. Sejak meninggalnya ayah, ibu sangat menanti kelahiran kami. Ayah meninggal karena kecelakaan pada saat ibu mengandung 7 bulan. Oh ya, perkenalkan namaku Selma dan aku mempunyai seorang kembaran laki-laki bernama Zein.

                Aku dan Zein mempunyai karakter yang amat berbeda. Kata ibu, aku childish, humoris, selalu ingin tahu hal baru, dan mempunyai wawasan yang luas. Sedangkan Zein, dia pendiam, suka menyendiri, dan bahkan terkadang  kasar. Ia ibarat air tenang menghanyutkan. Itu bisa dilihat dari waktu kami kecil dulu, pendapat kami selalu berbeda. Pada waktu kelas 5 sd, ibu berencana untuk pindah ke rumah nenek. Zein sontak menolak dengan keras, “Rumah nenek itu ramai, ibu! Zein nggak suka!”, ibu yang memang sudah tahu bahwa Zein akan menolak tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Hmm sebenarnya Ibu dan Zein itu sama saja, sama-sama susah diubah keputusannya. Sedangkan aku? Aku termasuk anak yang nurut-nurut saja jika diperintahkan, toh waktu itupun aku belum mengerti . Akhirnya Zein terpaksa ikut kami ke rumah nenek . yaiyalah, masa iya dia tinggal sendiri di rumah tua kami yang bahkan sudah tak layak disebut sebagai rumah.
                Panas terik matahari dan asap kendaraan melanda ibukota. Ya, rumah nenekku di ibukota. Itulah kenapa Zein tidak suka. Keramaian. Zein tidak suka itu. Hari pertama kami di rumah nenek ibu habiskan untuk mencari sekolah untuk kami. Walau miskin begitu, ibu tetap memprioritaskan pendidikan. Dengan bermodal sepatu butut dan tas sobek dibagian resleting, di hari berikutnya kamipun bersekolah kembali. Sekolah kami tidak jauh dari rumah nenek, jadi kami hanya menempuhnya dengan jalan kaki. Yaaa sebenarnya karena memang kami tak punya uang untuk naik angkot. Ibu selalu berpesan, “Selma, Zein, baik-baik yaa di sekolahnya. Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses. Jangan jadi seperti ibu ya!”, ibu emang selalu merendahkan dirinya sendiri di setiap pembicaraan kami. Mungkin ibu pikir kami malu mempunyai ibu seorang tukang cuci, padahal kami sama sekali tidak malu. Hmmm lebih tepatnya, AKU sama sekali tidak malu.

                Aku merasa nyaman di sekolah baruku. Aku cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Itulah mengapa aku mempunyai banyak teman dan disayangi banyak guru. Bagaimana dengan Zein? Huh, Zein memang tidak pernah berubah. Dia tetap selalu menyendiri. Bahkan, dia tidak mau belajar.
               

Seiring berjalannya waktu yang ternyata cepat berlalu ini, Alhamdulillah kami sudah masuk kelas 9, itu tandanya tahun ini kami Ujian Nasional. Aku yang memang rajin belajar dan ingin mempunyai wawasan yang luas , tak henti-hentinya belajar demi masa depanku yang gemilang. Aku selalu terngiang perkataan ibu, “Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses.”

Ujian Nasional pun tiba, aku yang memang sudah belajar, tenang-tenang saja menghadapi UN. Aku percaya, aku pasti bisa mendapatkan hasil yang terbaik dari usahaku selama ini.

Benar saja, pengumuman kelulusan pun tiba. Ternyata, aku lulus dengan nem tertinggi. Aaaaaaa ingin teriak rasanya. Mataku berbinar dan senyuman lepas terpaut di wajahku sekarang. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Tunggu, bagaimana dengan Zein? Sebagai kembarannya, tentu di papan pengumuman aku juga mencari namanya. Daaan, astaghfirullah Zein, Zein tidak lulus. Nemnya kecil sekali. Ya Allah bagaimana ini… sedih rasanya melihat belahan jiwaku sendiri menderita seperti itu. Aku datangi Zein dan berniat untuk menghiburnya, “Zein, kamu udah liat pengumuman?”, “udah” jawabnya singkat. Hah? Hanya itu responnya? Zein tidak menangis bahkan menyesal pun tidak. “aku emang nggak bisa kayak kamu yang pinter, punya banyak temen, disayangi guru. Sekarang masa depanku suram.” Tubuhku lemas, sontak aku terjatuh ke tanah. Aku sedih melihat dia seperti itu. Ya Allah mengapa aku dan dia berbeda sekali.

Sampai rumah, mendengar kabar itu, ibu sontak tekejut dan spontan memarahi Zein, “kamu tuh kenapa sih Zein dari dulu nggak pernah berubah? Belajar nggak, keras kepala iya. Kamu nggak kasihan sama ibu, nak? Ayah kamu itu udah nggak ada. Kamu mau nambah beban ibu dengan nggak lulus? Kamu tuh calon tulang punggung keluarga, gimana mau dapet kerja kalau kaya gini? Kamu dan Selma itu memang beda banget ya! Dia cerdas, rajin. Hhhh…” Mendengar itu Zein marah, tanpa ba bi bu, dia pergi meninggalkan rumah. Dan sampai sekarang, tidak pernah kembali lagi.

Karena kepintaranku, aku mendapat beasiswa sampai kuliah di Singapore. Sekarang umurku 20 tahun. Itu tandanya sudah 5 tahun tanpa Zein di hidupku.

To be continued…..

Hentakan kaki mulai terdengar, gemuruh suara mulai membuat bulu kudukku berdiri. Gelap. Tetesan keringat mulai jatuh dari batang hidungku. Gelisah. Oh Tuhan, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Seolah semua organ dalam tubuh bereaksi. Jantungku berdebar kencang, asam lambungku perlahan naik, aku menjadi keringat dingin, air mata pun menetes deras. Oh Tuhan, jangan bilang takdir yang membuatku begini. Jangan, Tuhan. Demi apapun aku tidak akan mau jadi pencuri.

***
         Cerita itu dimulai ketika aku terbangun pada suatu pagi. Aku tinggal bersama dua orang adikku, Sera berumur 8 tahun, dan Ari waktu itu masih berumur 2 tahun. Orang tua kami telah lama pergi, tanda kutip, mereka menghilang. Ibuku memilih menjadi wanita karir selamanya dibanding mengasuh anak, dan ayahku.. entah kemana ia pergi. Hidup memang tidak adil, aku bocah 12 tahun, harus menghadapi kerasnya hidup, terasa titik peluh menjadi seorang kakak laki-laki dimana harus mencari tempat tinggal selain dikolong jembatan, atau bahkan TPA. Aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di dunia pendidikan. Terbayang bukan, betapa bodohnya aku? Tapi aku tidak akan pernah mau cap ‘bodoh’ itu ada didalam diriku. Aku akan memutar otakku, mencari jalan keluar dari setiap permasalahan, mulai dari bagaimana aku harus mencari makan, tempat tidur ketika hujan datang, dan yang paling utama saat itu adalah, bagaimana bisa mendapatkan uang.

         Ibukota dilanda panas terik yang luar biasa. Asap pabrik mewarnai langit-langit sehingga membuat kesan suram pada kota Jakarta. Berbekal senar cempreng yang terikat pada gitarku, aku mulai memainkan melodi-melodi yang baru kupelajari shubuh tadi. Seribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu. Alhamdulillah, siang ini aku mendapat lima ribu. Aku langsung pergi ke tempat nasi uduk mba Titi, teringat tadi pagi Sera merengek minta nasi uduk. “Ya Allah ndok, bajumu itu lho, mbok ya diganti gitu, perasaan ibu kamu ga pernah ganti baju lagi dari 3 hari yang lalu. Bau lho ntar, yaudah nih nasi uduknya”, mba Titi mulai tidak senang dengan penampilanku. Beh, boro-boro beli baju, makan aja susah, batinku kesal. Aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkan mba Titi, dan berlari kecil untuk menemui Sera dan Ari yang sudah menunggu sejak jam 8 tadi. “YEEEEEEE! Kaka dateng, ayo dek, kita makaaan!!”, jerit Sera dan langsung menggendong Ari yang setengah mengantuk, dan langsung melotot melihat aku yang menenteng nasi uduk. “Ini minumnya, bagi dua ya. Ayo kita makan bareng-bareng”, pintaku lembut. Dibawah pohon rindang kami makan siang bersama, satu porsi bertiga.

        Senja pun tiba, jalanan mulai memadat, orang-orang ‘ber-uang’ itu baru saja pulang kerja. Dan kami, orang-orang ‘tanpa-uang’ hanya bisa menikmati matahari yang terbenam, berharap kami dapat merasakan duduk nyaman di dalam mobil, menikmati perbincangan renyah dengan orang tua. Sial, aku harus menghentikan khayalanku, dan harus kembali bekerja! Ketika aku melihat kedua adikku, ada yang tidak beres. Wajah Ari pucat, oh Tuhan, jangan bilang dia sakit. Sera mulai berkaca-kaca. Aku langsung memeluk Ari, air mataku perlahan turun, Ari memaksakan dirinya tersenyum. “Tunggu disini, kakak mau nyari obat!”, perintahku dengan keras. “Obat apa? Maksudku.. kakak tau kan, Ari punya penyakit ini dari lahir..Mendingan, kakak cari uang, gimana pun caranya biar adek bisa sembuh. Daripada kita ga bisa liat dia lagi untuk selamanya”, Sera mulai mengusap wajah Ari yang memucat.

        Tanpa basa-basi, aku langsung berlari kencang. Aku mulai mengemis kepada orang-orang di trotoar. "Bu, uangnya bu..”, “Pak... uangnya pak..”. Tapi hasilnya masih nihil. Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya aku merasa susah. Dan sampai kapaan? Aku yang merasa frustasi memutuskan untuk duduk atas jembatan, memikirkan cara apalagi yang harus aku lakukan. Mengemis sudah, Mengamen.. sudah tiap hari aku mengamen, dan butuh waktu berjam-jam untuk mendapatkan uang minimal 5.000.  Tapi aku butuh uang, sekarang.
         Ah, tidak lucu bila aku hanya bisa merenungi nasib.  Aku harus melakukan sesuatu. Aku beranjak dan mulai memutar otak lagi, untuk bisa mendapatkan uang secara instan. Oh sial, kenapa dipikiranku hanya terbesit..mencuri. Tidak, demi apapun aku tidak mau. Tapi, teringat kembali wajah Ari pucat seolah sudah tak bernyawa. Sial, sial, sial.  Ada dorongan kuat dalam diriku untuk mencuri, dan itu semakin kuat ketika aku melihat nenek-nenek, lehernya dihiasi emas, aku tebak emas itu pasti mahal. Minimal untuk membantu adikku agar sembuh dari penyakitnya. Jalanan sepi, dan dia menuju ke arahku. Tanpa pikir-pikir lagi, sreeett dengan mulusnya, kalung tersebut sudah ada dalam genggamanku. Nenek itu berbalik dan melotot ke arahku. Mengacungkan jari tengahnya dan meminta agar aku mengembalikkan kalungnya. Aku berlari secepat kilat. Menembus dinginnya malam, dengan kalung emas dalam genggaman. Aku mulai bisa tersenyum. Tiba-tiba..“HEH! KAMU BERHENTI! ANAK KECIL BERANI BERANINYA YA NYURI! GA PUNYA SOPAN SANTUN! GA BERPENDIDIKAN! DASAR KAMU SAMPAH MASYARAKAT!!!”, glek. Aku menelan ludahku, jantungku seolah lepas, aku menghentikan langkahku, melemas. 

Unordered List

Sample Text

Member Blogs

Total Pageviews

JAISH. Powered by Blogger.

Followers

What is JAISH?

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
JAISH (Journalist Asossiation of Insantama Senior Highschool) adalah sebuah club yang bergerak di bidang jurnalis di SMAIT Insantama Bogor

Cari Artikel

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget