Monday, 22 April 2013
- 02:29
- JAISH
- Cerpen, JSSC, Ksatria Malam, sisimilikiti
- No comments
Embun dengan butiran yang membulat terjatuh karena terpaan
seseorang yang sengaja mengusiknya. Matahari kali ini menyambut pagi dengan
sejuta cahaya untuk kembali mengajak semua manusia untuk bangun dari gelapnya
malam. Namun Desi tetap cemberut melihat adiknya yang bermain di taman dari
kejauhan. Padahal hari ini adalah hari minggu. Namun bukan itu yang membuat dia
sedih.
Desi pun langsung berlalu dari tatapannya ke taman. Dia
langsung menyambar handphone-nya di atas kasur. Dengan sigap dia mencari nama
temannya untuk ditelpon.
“assalamu’alaikum… sal kamu dimana??” Tanya Desi,
“wa’alaikumsalam aku masih di rumah sih mau berangkat ke
bandara sekarang.. ada apa Des??” jawab salma dengan nada kecapean.
“sal, kamu beneran mau pindah.. aku aku aku gak mau kamu…”
desi pun mulai meneteskan air matanya.
“des, jangan nangis des aku ke Malaysia Cuma mau sekolah
kok.. sebenarnya bukan kehendakku untuk sekolah disana, sebenarnya aku mau
sekolah disini bareng kamu, tapi aku hanya menuruti apa kata orangtuaku”
jawabnya dengan sedikit tegar.
Salmapun juga tak tahan untuk meneteskan air matanya.
Sebenarnya mereka bersahabat semenjak menginjak sekolah dasar. Namun kali ini
disaat mereka menginjak bangku SMA dikelas 10 Salma ditarik orang tuanya untuk
sekolah di luar negri. Salma juga telah berusaha meyakinkan orang tuanya untuk
tetap di Indonesia. Namun hasilnya Salmapun tetap harus sekolah di Malaysia.
Akhirnya dengan berat hati Desipun mengikhlaskan sahabatnya
itu sekolah di negri jiran. Dengan harapan suatu saat pasti bertemu kembali.
“sal sudahlah kamu jangan menangis juga.. aku ikhlas kok
kamu sekolah di sana, namun aku harap kamu tetap ingat aku disini. Aku
sebenarnya Cuma takut kalau aku gak punya temen lagi di sekolah dan ngingetin aku
kalo aku salah. Baik – baik ya disana” kata Desi dengan perasaannya yang
berusaha kuat menahan tangis.
“iya Des, aku juga nggak akan lupa ada kamu di Indonesia.
Kamu ajak aja siapa saja di kelas pasti mereka mau kok temenan sama kamu.
Do’akan aja aku sering- sering pulang hehehe ” jawab salma dengan tawanya yang
lembut.
Akhirnya mereka pun beraktifitas kembali di hari berikutnya.
Salma di Malaysia dengan kesibukan sekolahnya yang padat. Desi di Indonesia
dengan kesibukan sekolahnya juga. Dan merekapun
tak lupa untuk terus berkomunikasi setiap minggu. Walaupun hanya lewat
handphone, namun mereka berdua tetap merasakan kehangatan persahabatan yang tak
putus itu.
--------------------------©--------©--------------------------
3 tahun kemudian …
Dua tahun terakhir Desi dan
Salma mulai longgar untuk berkomunikasi. Mungkin karena padatnya tugas sekolah
membuat mereka lupa atau juga karena biaya komunikasi ke luar negri yang mahal
membuat Desi enggan untuk berbicara lagi dengan Salma.
Namun yang membuat Desi berbeda adalah dia semakin tidak
mengontrol kehidupannya. Hidupnya semakin suram karena arus pergaulan teman –
temannya yang tidak karuan. dan orang tuanya tidak memperdulikan dia lagi
karena orang tuanya merasa bahwa dia itu sudah besar dan tidak perlu diatur
lagi. orang tuanya hanya memberikan uang dan uang, tanpa peduli uangnya akan
digunakan untuk apa.
Hari ini hari minggu, Salma sangat senang karena hari ini dia akan
pulang ke Indonesia. Diapun segera menelpon Desi untuk memberikan berita baik.
Namun berkali – kali dia menelpon Desi selalu jawabanya ‘nomor yang anda tuju
tidak dapat dihubungi’. Salmapun mulai khawatir mungkin ada sesuatu yang
terjadi dengan temannya itu. Diapun segera membereskan barang-barangnya untuk
pulang ke Indonesia.
-----------------©-------------©--------------------
Desi ternyata telah berganti style. Seluruh kamarnya penuh dengan
pernak – pernik yang sangat gaul, bermerk dan mahal. Dan lebih parahnya teman-
teman yang bersamanya adalah orang yang tak tau belajar, tidak peduli dengan
lingkungan apalagi dengan keluarga. Hanya mementingkan dirinya untuk memuaskan
keinginannya.
Desi ternyata pergi ke sebuah tempat gelap dan suram dimana semua
orang yang ada didalamya selalu bergoyang dan bermabuk-mabukan. Dan Desi
menikmati itu semua dan terus minum barang haram tersebut hingga dia sudah
tidak menyadari apa yang dilakukannya.
Salma yang selama perjalanan di pesawat tidak tenang dan ingin
segera sampai di Indonesia. Setelah sampai dibandara Salma langsung menyambar
handphonenya dan menelpon Desi. Dan salma senang karena handphonenya nyambung
dan ada kemungkinan untuk diangkat.
Desi yang melihat handphonenya dengan sempoyongan mengangkat
handphonenya.
“assalamu’alaikum Desi kamu dimana des.. kenapa kamu gak jawab
telponku tadi pagi” Tanya Salma yang mulai panic.
“hah kamu siapa?? Aku sedang bersenang – senang disini kamu mau
ikut gak .. kita akan bersenang – senang dengan yang lain” jawab Desi dengan
melantur.
“DESI!! aku serius kamu dimana.. jangan bilang kamu sedang
ditempat disko lagi astagfirullah Desi aku akan segera ke sana” dengan sigap
dia pun meluncur sendiri tanpa pamit kepada orang tuanya.
--------------------©-----------©--------------------
Salmapun sampai ditempat. Halaman tempat suram itu sepi namun saat
memasuki ke dalam, dia disambar oleh pria dalam tempat itu.
“hey kamu wanita berkerudung ngapain kamu disini?? Mau main
kedalam” Tanyanya dengan senyum licik.
“saya tidak akan pernah mau kesini.. saya mau mencari teman saya”
jawabnya tanpa memperhatikan bahwa dia akan diserang.
Namun saat dia melihat dia akan ditarik dia langsung berlari dan
masuk kedalam tempat suram itu dan segera mencari Desi yang sedang tak sadar.
Salma yang sedari tadi mencari bingung karena ada banyak sekali orang dan
berhimpit-himpitan. Akhirnya Salma menemukan Desi yang sedang memegang botol
minuman keras. Dengan sigap Salma menarik Desi hingga botol yang dipegangnya
pecah. Pecahnya botol itu membuat suasana menjadi tertuju ke arah Desi dan
Salma.
“Hey kamu wanita berkerudung, ngapain kamu disini …. Mau ikutan
sama kita-kita” ocehan seorang pria yang sedang asik bersama seorang wanita.
“jangan dekati saya, saya hanya mau menyelamatkan teman saya dari
tempat suram ini… saya tidak mau teman saya ternodai oleh kalian.. BIARKAN SAYA
KELUAAAAR !!!” teriak Salma dengan lantang.
Namun usaha Salma sia-sia semua orang yang marah karena ucapannya
mengerubunginya dan ingin menghabisi dia. Desi yang melihat Salma dikerubungi
dan mulai dihajar perlahan mulai sadarkan diri. Desi seakan-akan berusaha
mengingat wajah wanita yang sedang dihajar itu.
Satu per satu Salma dipukul dan ditendang dengan tidak lazim.
Namun akhirnya akal sehat Desi mulai sadar, dan segera mengambil Salma dan
menggendongnya keluar. Sambil berlari dan berteriak meminta tolong.
Sirene mobil polisi bordering dan mengahamburkan semua orang yang
berusaha mengejar Salma dan Desi. Dengan cekatan pak polisi menangkap
semua orang yang berhamburan. Dan salah
satu pak polisi tersebut menghampiri Desi yang sempoyongan menggendong Salma.
Lalu pak polisi itu berkata,
“apa yang terjadi pada temanmu yang kamu gendong itu ??” Tanya pak
polisi itu,
“dia tadi dihajar habis-habisan oleh orang-orang yang ada ditempat
itu pak..” dengan nada terengah-engah Desi menjawab pertanyaan pak polisi
tersebut,
“apakah dia pingsan ?? mari masuk ke mobil polisi yang itu. Bilang
untuk diantarkan ke rumah sakit terdekat” sigap pak polisi,
“iya pak terima kasih atas bantuannya” kata Desi dengan tersenyum.
Dan pak polisi membalas dengan hormat dan senyum tegarnya. Lalu
Desi segera bergegas menghampiri mobil polisi yang tunjuk oleh pak polisi tadi
dan segera pergi membawa Salma meluncur menuju rumah sakit terdekat.
To be continued…..
- 02:16
- JAISH
- anurma zahidah, Cerpen, JSSC, Ksatria Malam
- No comments
Air mata bahagia
mengalir dari ujung matanya, bibirnya pun tersenyum lepas nan ikhlas. Ya,
itulah ekspresi ibu saat melahirkan aku dan kembaranku 20 tahun lalu. Sejak
meninggalnya ayah, ibu sangat menanti kelahiran kami. Ayah meninggal karena
kecelakaan pada saat ibu mengandung 7 bulan. Oh ya, perkenalkan namaku Selma
dan aku mempunyai seorang kembaran laki-laki bernama Zein.
Aku
dan Zein mempunyai karakter yang amat berbeda. Kata ibu, aku childish, humoris,
selalu ingin tahu hal baru, dan mempunyai wawasan yang luas. Sedangkan Zein,
dia pendiam, suka menyendiri, dan bahkan terkadang kasar. Ia ibarat air tenang menghanyutkan.
Itu bisa dilihat dari waktu kami kecil dulu, pendapat kami selalu berbeda. Pada
waktu kelas 5 sd, ibu berencana untuk pindah ke rumah nenek. Zein sontak
menolak dengan keras, “Rumah nenek itu ramai, ibu! Zein nggak suka!”, ibu yang
memang sudah tahu bahwa Zein akan menolak tetap berpegang teguh pada
pendiriannya. Hmm sebenarnya Ibu dan Zein itu sama saja, sama-sama susah diubah
keputusannya. Sedangkan aku? Aku termasuk anak yang nurut-nurut saja jika
diperintahkan, toh waktu itupun aku belum mengerti . Akhirnya Zein terpaksa
ikut kami ke rumah nenek . yaiyalah, masa iya dia tinggal sendiri di rumah tua
kami yang bahkan sudah tak layak disebut sebagai rumah.
Panas
terik matahari dan asap kendaraan melanda ibukota. Ya, rumah nenekku di
ibukota. Itulah kenapa Zein tidak suka. Keramaian. Zein tidak suka itu. Hari
pertama kami di rumah nenek ibu habiskan untuk mencari sekolah untuk kami.
Walau miskin begitu, ibu tetap memprioritaskan pendidikan. Dengan bermodal
sepatu butut dan tas sobek dibagian resleting, di hari berikutnya kamipun
bersekolah kembali. Sekolah kami tidak jauh dari rumah nenek, jadi kami hanya
menempuhnya dengan jalan kaki. Yaaa sebenarnya karena memang kami tak punya
uang untuk naik angkot. Ibu selalu berpesan, “Selma, Zein, baik-baik yaa di
sekolahnya. Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang
sukses. Jangan jadi seperti ibu ya!”, ibu emang selalu merendahkan dirinya
sendiri di setiap pembicaraan kami. Mungkin ibu pikir kami malu mempunyai ibu
seorang tukang cuci, padahal kami sama sekali tidak malu. Hmmm lebih tepatnya,
AKU sama sekali tidak malu.
Aku
merasa nyaman di sekolah baruku. Aku cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.
Itulah mengapa aku mempunyai banyak teman dan disayangi banyak guru. Bagaimana
dengan Zein? Huh, Zein memang tidak pernah berubah. Dia tetap selalu
menyendiri. Bahkan, dia tidak mau belajar.
Seiring
berjalannya waktu yang ternyata cepat berlalu ini, Alhamdulillah kami sudah
masuk kelas 9, itu tandanya tahun ini kami Ujian Nasional. Aku yang memang
rajin belajar dan ingin mempunyai wawasan yang luas , tak henti-hentinya belajar
demi masa depanku yang gemilang. Aku selalu terngiang perkataan ibu, “Banggakan
ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses.”
Ujian Nasional pun
tiba, aku yang memang sudah belajar, tenang-tenang saja menghadapi UN. Aku
percaya, aku pasti bisa mendapatkan hasil yang terbaik dari usahaku selama ini.
Benar saja,
pengumuman kelulusan pun tiba. Ternyata, aku lulus dengan nem tertinggi.
Aaaaaaa ingin teriak rasanya. Mataku berbinar dan senyuman lepas terpaut di
wajahku sekarang. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Tunggu, bagaimana
dengan Zein? Sebagai kembarannya, tentu di papan pengumuman aku juga mencari
namanya. Daaan, astaghfirullah Zein, Zein tidak lulus. Nemnya kecil sekali. Ya
Allah bagaimana ini… sedih rasanya melihat belahan jiwaku sendiri menderita
seperti itu. Aku datangi Zein dan berniat untuk menghiburnya, “Zein, kamu udah
liat pengumuman?”, “udah” jawabnya singkat. Hah? Hanya itu responnya? Zein
tidak menangis bahkan menyesal pun tidak. “aku emang nggak bisa kayak kamu yang
pinter, punya banyak temen, disayangi guru. Sekarang masa depanku suram.”
Tubuhku lemas, sontak aku terjatuh ke tanah. Aku sedih melihat dia seperti itu.
Ya Allah mengapa aku dan dia berbeda sekali.
Sampai rumah,
mendengar kabar itu, ibu sontak tekejut dan spontan memarahi Zein, “kamu tuh
kenapa sih Zein dari dulu nggak pernah berubah? Belajar nggak, keras kepala
iya. Kamu nggak kasihan sama ibu, nak? Ayah kamu itu udah nggak ada. Kamu mau
nambah beban ibu dengan nggak lulus? Kamu tuh calon tulang punggung keluarga,
gimana mau dapet kerja kalau kaya gini? Kamu dan Selma itu memang beda banget
ya! Dia cerdas, rajin. Hhhh…” Mendengar itu Zein marah, tanpa ba bi bu, dia
pergi meninggalkan rumah. Dan sampai sekarang, tidak pernah kembali lagi.
Karena kepintaranku,
aku mendapat beasiswa sampai kuliah di Singapore. Sekarang umurku 20 tahun. Itu
tandanya sudah 5 tahun tanpa Zein di hidupku.
To be continued…..
- 02:00
- JAISH
- Cerpen, eleven and one, JSSC, Ksatria Malam
- No comments
Hentakan kaki mulai terdengar, gemuruh suara
mulai membuat bulu kudukku berdiri. Gelap. Tetesan keringat mulai jatuh dari
batang hidungku. Gelisah. Oh Tuhan, aku tidak pernah merasa seperti ini
sebelumnya. Seolah semua organ dalam tubuh bereaksi. Jantungku berdebar
kencang, asam lambungku perlahan naik, aku menjadi keringat dingin, air mata
pun menetes deras. Oh Tuhan, jangan bilang takdir yang membuatku begini.
Jangan, Tuhan. Demi apapun aku tidak akan mau jadi pencuri.
***
Cerita itu dimulai ketika aku terbangun pada suatu pagi. Aku tinggal
bersama dua orang adikku, Sera berumur 8 tahun, dan Ari waktu itu masih berumur
2 tahun. Orang tua kami telah lama pergi, tanda kutip, mereka menghilang. Ibuku
memilih menjadi wanita karir selamanya dibanding mengasuh anak, dan ayahku..
entah kemana ia pergi. Hidup memang tidak adil, aku bocah 12 tahun, harus
menghadapi kerasnya hidup, terasa titik peluh menjadi seorang kakak laki-laki
dimana harus mencari tempat tinggal selain dikolong jembatan, atau bahkan TPA.
Aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di dunia pendidikan. Terbayang
bukan, betapa bodohnya aku? Tapi aku tidak akan pernah mau cap ‘bodoh’ itu ada
didalam diriku. Aku akan memutar otakku, mencari jalan keluar dari setiap
permasalahan, mulai dari bagaimana aku harus mencari makan, tempat tidur ketika
hujan datang, dan yang paling utama saat itu adalah, bagaimana bisa mendapatkan
uang.
Ibukota dilanda panas terik yang luar biasa. Asap pabrik mewarnai
langit-langit sehingga membuat kesan suram pada kota Jakarta. Berbekal senar
cempreng yang terikat pada gitarku, aku mulai memainkan melodi-melodi yang baru
kupelajari shubuh tadi. Seribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu.
Alhamdulillah, siang ini aku mendapat lima ribu. Aku langsung pergi ke tempat
nasi uduk mba Titi, teringat tadi pagi Sera merengek minta nasi uduk. “Ya Allah
ndok, bajumu itu lho, mbok ya diganti gitu, perasaan ibu kamu ga pernah ganti
baju lagi dari 3 hari yang lalu. Bau lho ntar, yaudah nih nasi uduknya”, mba
Titi mulai tidak senang dengan penampilanku. Beh, boro-boro beli baju, makan
aja susah, batinku kesal. Aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkan
mba Titi, dan berlari kecil untuk menemui Sera dan Ari yang sudah menunggu
sejak jam 8 tadi. “YEEEEEEE! Kaka dateng, ayo dek, kita makaaan!!”, jerit Sera
dan langsung menggendong Ari yang setengah mengantuk, dan langsung melotot
melihat aku yang menenteng nasi uduk. “Ini minumnya, bagi dua ya. Ayo kita
makan bareng-bareng”, pintaku lembut. Dibawah pohon rindang kami makan siang
bersama, satu porsi bertiga.
Senja pun tiba, jalanan mulai memadat, orang-orang ‘ber-uang’ itu baru
saja pulang kerja. Dan kami, orang-orang ‘tanpa-uang’ hanya bisa menikmati
matahari yang terbenam, berharap kami dapat merasakan duduk nyaman di dalam
mobil, menikmati perbincangan renyah dengan orang tua. Sial, aku harus
menghentikan khayalanku, dan harus kembali bekerja! Ketika aku melihat kedua
adikku, ada yang tidak beres. Wajah Ari pucat, oh Tuhan, jangan bilang dia sakit.
Sera mulai berkaca-kaca. Aku langsung memeluk Ari, air mataku perlahan turun,
Ari memaksakan dirinya tersenyum. “Tunggu disini, kakak mau nyari obat!”,
perintahku dengan keras. “Obat apa? Maksudku.. kakak tau kan, Ari punya
penyakit ini dari lahir..Mendingan, kakak cari uang, gimana pun caranya biar
adek bisa sembuh. Daripada kita ga bisa liat dia lagi untuk selamanya”, Sera
mulai mengusap wajah Ari yang memucat.
Tanpa basa-basi, aku langsung berlari kencang. Aku mulai mengemis kepada
orang-orang di trotoar. "Bu, uangnya bu..”, “Pak... uangnya pak..”. Tapi
hasilnya masih nihil. Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya aku merasa susah. Dan
sampai kapaan? Aku yang merasa frustasi memutuskan untuk duduk atas jembatan,
memikirkan cara apalagi yang harus aku lakukan. Mengemis sudah, Mengamen..
sudah tiap hari aku mengamen, dan butuh waktu berjam-jam untuk mendapatkan uang
minimal 5.000. Tapi aku butuh uang,
sekarang.
Ah, tidak lucu bila aku hanya bisa merenungi nasib. Aku harus melakukan sesuatu. Aku beranjak dan
mulai memutar otak lagi, untuk bisa mendapatkan uang secara instan. Oh sial,
kenapa dipikiranku hanya terbesit..mencuri. Tidak, demi apapun aku tidak mau.
Tapi, teringat kembali wajah Ari pucat seolah sudah tak bernyawa. Sial, sial,
sial. Ada dorongan kuat dalam diriku
untuk mencuri, dan itu semakin kuat ketika aku melihat nenek-nenek, lehernya
dihiasi emas, aku tebak emas itu pasti mahal. Minimal untuk membantu adikku
agar sembuh dari penyakitnya. Jalanan sepi, dan dia menuju ke arahku. Tanpa
pikir-pikir lagi, sreeett dengan mulusnya, kalung tersebut sudah ada
dalam genggamanku. Nenek itu berbalik dan melotot ke arahku. Mengacungkan jari
tengahnya dan meminta agar aku mengembalikkan kalungnya. Aku berlari secepat
kilat. Menembus dinginnya malam, dengan kalung emas dalam genggaman. Aku mulai
bisa tersenyum. Tiba-tiba..“HEH! KAMU BERHENTI! ANAK KECIL BERANI BERANINYA YA
NYURI! GA PUNYA SOPAN SANTUN! GA BERPENDIDIKAN! DASAR KAMU SAMPAH
MASYARAKAT!!!”, glek. Aku menelan ludahku, jantungku seolah lepas, aku
menghentikan langkahku, melemas.
Subscribe to:
Posts (Atom)