Monday, 22 April 2013


Air mata bahagia mengalir dari ujung matanya, bibirnya pun tersenyum lepas nan ikhlas. Ya, itulah ekspresi ibu saat melahirkan aku dan kembaranku 20 tahun lalu. Sejak meninggalnya ayah, ibu sangat menanti kelahiran kami. Ayah meninggal karena kecelakaan pada saat ibu mengandung 7 bulan. Oh ya, perkenalkan namaku Selma dan aku mempunyai seorang kembaran laki-laki bernama Zein.

                Aku dan Zein mempunyai karakter yang amat berbeda. Kata ibu, aku childish, humoris, selalu ingin tahu hal baru, dan mempunyai wawasan yang luas. Sedangkan Zein, dia pendiam, suka menyendiri, dan bahkan terkadang  kasar. Ia ibarat air tenang menghanyutkan. Itu bisa dilihat dari waktu kami kecil dulu, pendapat kami selalu berbeda. Pada waktu kelas 5 sd, ibu berencana untuk pindah ke rumah nenek. Zein sontak menolak dengan keras, “Rumah nenek itu ramai, ibu! Zein nggak suka!”, ibu yang memang sudah tahu bahwa Zein akan menolak tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Hmm sebenarnya Ibu dan Zein itu sama saja, sama-sama susah diubah keputusannya. Sedangkan aku? Aku termasuk anak yang nurut-nurut saja jika diperintahkan, toh waktu itupun aku belum mengerti . Akhirnya Zein terpaksa ikut kami ke rumah nenek . yaiyalah, masa iya dia tinggal sendiri di rumah tua kami yang bahkan sudah tak layak disebut sebagai rumah.
                Panas terik matahari dan asap kendaraan melanda ibukota. Ya, rumah nenekku di ibukota. Itulah kenapa Zein tidak suka. Keramaian. Zein tidak suka itu. Hari pertama kami di rumah nenek ibu habiskan untuk mencari sekolah untuk kami. Walau miskin begitu, ibu tetap memprioritaskan pendidikan. Dengan bermodal sepatu butut dan tas sobek dibagian resleting, di hari berikutnya kamipun bersekolah kembali. Sekolah kami tidak jauh dari rumah nenek, jadi kami hanya menempuhnya dengan jalan kaki. Yaaa sebenarnya karena memang kami tak punya uang untuk naik angkot. Ibu selalu berpesan, “Selma, Zein, baik-baik yaa di sekolahnya. Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses. Jangan jadi seperti ibu ya!”, ibu emang selalu merendahkan dirinya sendiri di setiap pembicaraan kami. Mungkin ibu pikir kami malu mempunyai ibu seorang tukang cuci, padahal kami sama sekali tidak malu. Hmmm lebih tepatnya, AKU sama sekali tidak malu.

                Aku merasa nyaman di sekolah baruku. Aku cepat beradaptasi dengan lingkungan baru. Itulah mengapa aku mempunyai banyak teman dan disayangi banyak guru. Bagaimana dengan Zein? Huh, Zein memang tidak pernah berubah. Dia tetap selalu menyendiri. Bahkan, dia tidak mau belajar.
               

Seiring berjalannya waktu yang ternyata cepat berlalu ini, Alhamdulillah kami sudah masuk kelas 9, itu tandanya tahun ini kami Ujian Nasional. Aku yang memang rajin belajar dan ingin mempunyai wawasan yang luas , tak henti-hentinya belajar demi masa depanku yang gemilang. Aku selalu terngiang perkataan ibu, “Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses.”

Ujian Nasional pun tiba, aku yang memang sudah belajar, tenang-tenang saja menghadapi UN. Aku percaya, aku pasti bisa mendapatkan hasil yang terbaik dari usahaku selama ini.

Benar saja, pengumuman kelulusan pun tiba. Ternyata, aku lulus dengan nem tertinggi. Aaaaaaa ingin teriak rasanya. Mataku berbinar dan senyuman lepas terpaut di wajahku sekarang. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Tunggu, bagaimana dengan Zein? Sebagai kembarannya, tentu di papan pengumuman aku juga mencari namanya. Daaan, astaghfirullah Zein, Zein tidak lulus. Nemnya kecil sekali. Ya Allah bagaimana ini… sedih rasanya melihat belahan jiwaku sendiri menderita seperti itu. Aku datangi Zein dan berniat untuk menghiburnya, “Zein, kamu udah liat pengumuman?”, “udah” jawabnya singkat. Hah? Hanya itu responnya? Zein tidak menangis bahkan menyesal pun tidak. “aku emang nggak bisa kayak kamu yang pinter, punya banyak temen, disayangi guru. Sekarang masa depanku suram.” Tubuhku lemas, sontak aku terjatuh ke tanah. Aku sedih melihat dia seperti itu. Ya Allah mengapa aku dan dia berbeda sekali.

Sampai rumah, mendengar kabar itu, ibu sontak tekejut dan spontan memarahi Zein, “kamu tuh kenapa sih Zein dari dulu nggak pernah berubah? Belajar nggak, keras kepala iya. Kamu nggak kasihan sama ibu, nak? Ayah kamu itu udah nggak ada. Kamu mau nambah beban ibu dengan nggak lulus? Kamu tuh calon tulang punggung keluarga, gimana mau dapet kerja kalau kaya gini? Kamu dan Selma itu memang beda banget ya! Dia cerdas, rajin. Hhhh…” Mendengar itu Zein marah, tanpa ba bi bu, dia pergi meninggalkan rumah. Dan sampai sekarang, tidak pernah kembali lagi.

Karena kepintaranku, aku mendapat beasiswa sampai kuliah di Singapore. Sekarang umurku 20 tahun. Itu tandanya sudah 5 tahun tanpa Zein di hidupku.

To be continued…..

0 komentar:

Post a Comment

Unordered List

Sample Text

Member Blogs

Total Pageviews

JAISH. Powered by Blogger.

Followers

What is JAISH?

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
JAISH (Journalist Asossiation of Insantama Senior Highschool) adalah sebuah club yang bergerak di bidang jurnalis di SMAIT Insantama Bogor

Cari Artikel

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget