Air mata bahagia
mengalir dari ujung matanya, bibirnya pun tersenyum lepas nan ikhlas. Ya,
itulah ekspresi ibu saat melahirkan aku dan kembaranku 20 tahun lalu. Sejak
meninggalnya ayah, ibu sangat menanti kelahiran kami. Ayah meninggal karena
kecelakaan pada saat ibu mengandung 7 bulan. Oh ya, perkenalkan namaku Selma
dan aku mempunyai seorang kembaran laki-laki bernama Zein.
Aku
dan Zein mempunyai karakter yang amat berbeda. Kata ibu, aku childish, humoris,
selalu ingin tahu hal baru, dan mempunyai wawasan yang luas. Sedangkan Zein,
dia pendiam, suka menyendiri, dan bahkan terkadang kasar. Ia ibarat air tenang menghanyutkan.
Itu bisa dilihat dari waktu kami kecil dulu, pendapat kami selalu berbeda. Pada
waktu kelas 5 sd, ibu berencana untuk pindah ke rumah nenek. Zein sontak
menolak dengan keras, “Rumah nenek itu ramai, ibu! Zein nggak suka!”, ibu yang
memang sudah tahu bahwa Zein akan menolak tetap berpegang teguh pada
pendiriannya. Hmm sebenarnya Ibu dan Zein itu sama saja, sama-sama susah diubah
keputusannya. Sedangkan aku? Aku termasuk anak yang nurut-nurut saja jika
diperintahkan, toh waktu itupun aku belum mengerti . Akhirnya Zein terpaksa
ikut kami ke rumah nenek . yaiyalah, masa iya dia tinggal sendiri di rumah tua
kami yang bahkan sudah tak layak disebut sebagai rumah.
Panas
terik matahari dan asap kendaraan melanda ibukota. Ya, rumah nenekku di
ibukota. Itulah kenapa Zein tidak suka. Keramaian. Zein tidak suka itu. Hari
pertama kami di rumah nenek ibu habiskan untuk mencari sekolah untuk kami.
Walau miskin begitu, ibu tetap memprioritaskan pendidikan. Dengan bermodal
sepatu butut dan tas sobek dibagian resleting, di hari berikutnya kamipun
bersekolah kembali. Sekolah kami tidak jauh dari rumah nenek, jadi kami hanya
menempuhnya dengan jalan kaki. Yaaa sebenarnya karena memang kami tak punya
uang untuk naik angkot. Ibu selalu berpesan, “Selma, Zein, baik-baik yaa di
sekolahnya. Banggakan ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang
sukses. Jangan jadi seperti ibu ya!”, ibu emang selalu merendahkan dirinya
sendiri di setiap pembicaraan kami. Mungkin ibu pikir kami malu mempunyai ibu
seorang tukang cuci, padahal kami sama sekali tidak malu. Hmmm lebih tepatnya,
AKU sama sekali tidak malu.
Aku
merasa nyaman di sekolah baruku. Aku cepat beradaptasi dengan lingkungan baru.
Itulah mengapa aku mempunyai banyak teman dan disayangi banyak guru. Bagaimana
dengan Zein? Huh, Zein memang tidak pernah berubah. Dia tetap selalu
menyendiri. Bahkan, dia tidak mau belajar.
Seiring
berjalannya waktu yang ternyata cepat berlalu ini, Alhamdulillah kami sudah
masuk kelas 9, itu tandanya tahun ini kami Ujian Nasional. Aku yang memang
rajin belajar dan ingin mempunyai wawasan yang luas , tak henti-hentinya belajar
demi masa depanku yang gemilang. Aku selalu terngiang perkataan ibu, “Banggakan
ibu dan ayah. Ibu yakin, kelak kalian bisa jadi orang sukses.”
Ujian Nasional pun
tiba, aku yang memang sudah belajar, tenang-tenang saja menghadapi UN. Aku
percaya, aku pasti bisa mendapatkan hasil yang terbaik dari usahaku selama ini.
Benar saja,
pengumuman kelulusan pun tiba. Ternyata, aku lulus dengan nem tertinggi.
Aaaaaaa ingin teriak rasanya. Mataku berbinar dan senyuman lepas terpaut di
wajahku sekarang. Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Tunggu, bagaimana
dengan Zein? Sebagai kembarannya, tentu di papan pengumuman aku juga mencari
namanya. Daaan, astaghfirullah Zein, Zein tidak lulus. Nemnya kecil sekali. Ya
Allah bagaimana ini… sedih rasanya melihat belahan jiwaku sendiri menderita
seperti itu. Aku datangi Zein dan berniat untuk menghiburnya, “Zein, kamu udah
liat pengumuman?”, “udah” jawabnya singkat. Hah? Hanya itu responnya? Zein
tidak menangis bahkan menyesal pun tidak. “aku emang nggak bisa kayak kamu yang
pinter, punya banyak temen, disayangi guru. Sekarang masa depanku suram.”
Tubuhku lemas, sontak aku terjatuh ke tanah. Aku sedih melihat dia seperti itu.
Ya Allah mengapa aku dan dia berbeda sekali.
Sampai rumah,
mendengar kabar itu, ibu sontak tekejut dan spontan memarahi Zein, “kamu tuh
kenapa sih Zein dari dulu nggak pernah berubah? Belajar nggak, keras kepala
iya. Kamu nggak kasihan sama ibu, nak? Ayah kamu itu udah nggak ada. Kamu mau
nambah beban ibu dengan nggak lulus? Kamu tuh calon tulang punggung keluarga,
gimana mau dapet kerja kalau kaya gini? Kamu dan Selma itu memang beda banget
ya! Dia cerdas, rajin. Hhhh…” Mendengar itu Zein marah, tanpa ba bi bu, dia
pergi meninggalkan rumah. Dan sampai sekarang, tidak pernah kembali lagi.
Karena kepintaranku,
aku mendapat beasiswa sampai kuliah di Singapore. Sekarang umurku 20 tahun. Itu
tandanya sudah 5 tahun tanpa Zein di hidupku.
To be continued…..
0 komentar:
Post a Comment