Monday 22 April 2013


Hentakan kaki mulai terdengar, gemuruh suara mulai membuat bulu kudukku berdiri. Gelap. Tetesan keringat mulai jatuh dari batang hidungku. Gelisah. Oh Tuhan, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. Seolah semua organ dalam tubuh bereaksi. Jantungku berdebar kencang, asam lambungku perlahan naik, aku menjadi keringat dingin, air mata pun menetes deras. Oh Tuhan, jangan bilang takdir yang membuatku begini. Jangan, Tuhan. Demi apapun aku tidak akan mau jadi pencuri.

***
         Cerita itu dimulai ketika aku terbangun pada suatu pagi. Aku tinggal bersama dua orang adikku, Sera berumur 8 tahun, dan Ari waktu itu masih berumur 2 tahun. Orang tua kami telah lama pergi, tanda kutip, mereka menghilang. Ibuku memilih menjadi wanita karir selamanya dibanding mengasuh anak, dan ayahku.. entah kemana ia pergi. Hidup memang tidak adil, aku bocah 12 tahun, harus menghadapi kerasnya hidup, terasa titik peluh menjadi seorang kakak laki-laki dimana harus mencari tempat tinggal selain dikolong jembatan, atau bahkan TPA. Aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di dunia pendidikan. Terbayang bukan, betapa bodohnya aku? Tapi aku tidak akan pernah mau cap ‘bodoh’ itu ada didalam diriku. Aku akan memutar otakku, mencari jalan keluar dari setiap permasalahan, mulai dari bagaimana aku harus mencari makan, tempat tidur ketika hujan datang, dan yang paling utama saat itu adalah, bagaimana bisa mendapatkan uang.

         Ibukota dilanda panas terik yang luar biasa. Asap pabrik mewarnai langit-langit sehingga membuat kesan suram pada kota Jakarta. Berbekal senar cempreng yang terikat pada gitarku, aku mulai memainkan melodi-melodi yang baru kupelajari shubuh tadi. Seribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu. Alhamdulillah, siang ini aku mendapat lima ribu. Aku langsung pergi ke tempat nasi uduk mba Titi, teringat tadi pagi Sera merengek minta nasi uduk. “Ya Allah ndok, bajumu itu lho, mbok ya diganti gitu, perasaan ibu kamu ga pernah ganti baju lagi dari 3 hari yang lalu. Bau lho ntar, yaudah nih nasi uduknya”, mba Titi mulai tidak senang dengan penampilanku. Beh, boro-boro beli baju, makan aja susah, batinku kesal. Aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkan mba Titi, dan berlari kecil untuk menemui Sera dan Ari yang sudah menunggu sejak jam 8 tadi. “YEEEEEEE! Kaka dateng, ayo dek, kita makaaan!!”, jerit Sera dan langsung menggendong Ari yang setengah mengantuk, dan langsung melotot melihat aku yang menenteng nasi uduk. “Ini minumnya, bagi dua ya. Ayo kita makan bareng-bareng”, pintaku lembut. Dibawah pohon rindang kami makan siang bersama, satu porsi bertiga.

        Senja pun tiba, jalanan mulai memadat, orang-orang ‘ber-uang’ itu baru saja pulang kerja. Dan kami, orang-orang ‘tanpa-uang’ hanya bisa menikmati matahari yang terbenam, berharap kami dapat merasakan duduk nyaman di dalam mobil, menikmati perbincangan renyah dengan orang tua. Sial, aku harus menghentikan khayalanku, dan harus kembali bekerja! Ketika aku melihat kedua adikku, ada yang tidak beres. Wajah Ari pucat, oh Tuhan, jangan bilang dia sakit. Sera mulai berkaca-kaca. Aku langsung memeluk Ari, air mataku perlahan turun, Ari memaksakan dirinya tersenyum. “Tunggu disini, kakak mau nyari obat!”, perintahku dengan keras. “Obat apa? Maksudku.. kakak tau kan, Ari punya penyakit ini dari lahir..Mendingan, kakak cari uang, gimana pun caranya biar adek bisa sembuh. Daripada kita ga bisa liat dia lagi untuk selamanya”, Sera mulai mengusap wajah Ari yang memucat.

        Tanpa basa-basi, aku langsung berlari kencang. Aku mulai mengemis kepada orang-orang di trotoar. "Bu, uangnya bu..”, “Pak... uangnya pak..”. Tapi hasilnya masih nihil. Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya aku merasa susah. Dan sampai kapaan? Aku yang merasa frustasi memutuskan untuk duduk atas jembatan, memikirkan cara apalagi yang harus aku lakukan. Mengemis sudah, Mengamen.. sudah tiap hari aku mengamen, dan butuh waktu berjam-jam untuk mendapatkan uang minimal 5.000.  Tapi aku butuh uang, sekarang.
         Ah, tidak lucu bila aku hanya bisa merenungi nasib.  Aku harus melakukan sesuatu. Aku beranjak dan mulai memutar otak lagi, untuk bisa mendapatkan uang secara instan. Oh sial, kenapa dipikiranku hanya terbesit..mencuri. Tidak, demi apapun aku tidak mau. Tapi, teringat kembali wajah Ari pucat seolah sudah tak bernyawa. Sial, sial, sial.  Ada dorongan kuat dalam diriku untuk mencuri, dan itu semakin kuat ketika aku melihat nenek-nenek, lehernya dihiasi emas, aku tebak emas itu pasti mahal. Minimal untuk membantu adikku agar sembuh dari penyakitnya. Jalanan sepi, dan dia menuju ke arahku. Tanpa pikir-pikir lagi, sreeett dengan mulusnya, kalung tersebut sudah ada dalam genggamanku. Nenek itu berbalik dan melotot ke arahku. Mengacungkan jari tengahnya dan meminta agar aku mengembalikkan kalungnya. Aku berlari secepat kilat. Menembus dinginnya malam, dengan kalung emas dalam genggaman. Aku mulai bisa tersenyum. Tiba-tiba..“HEH! KAMU BERHENTI! ANAK KECIL BERANI BERANINYA YA NYURI! GA PUNYA SOPAN SANTUN! GA BERPENDIDIKAN! DASAR KAMU SAMPAH MASYARAKAT!!!”, glek. Aku menelan ludahku, jantungku seolah lepas, aku menghentikan langkahku, melemas. 

0 komentar:

Post a Comment

Unordered List

Sample Text

Member Blogs

Total Pageviews

JAISH. Powered by Blogger.

Followers

What is JAISH?

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
JAISH (Journalist Asossiation of Insantama Senior Highschool) adalah sebuah club yang bergerak di bidang jurnalis di SMAIT Insantama Bogor

Cari Artikel

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget