Hentakan kaki mulai terdengar, gemuruh suara
mulai membuat bulu kudukku berdiri. Gelap. Tetesan keringat mulai jatuh dari
batang hidungku. Gelisah. Oh Tuhan, aku tidak pernah merasa seperti ini
sebelumnya. Seolah semua organ dalam tubuh bereaksi. Jantungku berdebar
kencang, asam lambungku perlahan naik, aku menjadi keringat dingin, air mata
pun menetes deras. Oh Tuhan, jangan bilang takdir yang membuatku begini.
Jangan, Tuhan. Demi apapun aku tidak akan mau jadi pencuri.
***
Cerita itu dimulai ketika aku terbangun pada suatu pagi. Aku tinggal
bersama dua orang adikku, Sera berumur 8 tahun, dan Ari waktu itu masih berumur
2 tahun. Orang tua kami telah lama pergi, tanda kutip, mereka menghilang. Ibuku
memilih menjadi wanita karir selamanya dibanding mengasuh anak, dan ayahku..
entah kemana ia pergi. Hidup memang tidak adil, aku bocah 12 tahun, harus
menghadapi kerasnya hidup, terasa titik peluh menjadi seorang kakak laki-laki
dimana harus mencari tempat tinggal selain dikolong jembatan, atau bahkan TPA.
Aku sama sekali belum pernah menginjakkan kakiku di dunia pendidikan. Terbayang
bukan, betapa bodohnya aku? Tapi aku tidak akan pernah mau cap ‘bodoh’ itu ada
didalam diriku. Aku akan memutar otakku, mencari jalan keluar dari setiap
permasalahan, mulai dari bagaimana aku harus mencari makan, tempat tidur ketika
hujan datang, dan yang paling utama saat itu adalah, bagaimana bisa mendapatkan
uang.
Ibukota dilanda panas terik yang luar biasa. Asap pabrik mewarnai
langit-langit sehingga membuat kesan suram pada kota Jakarta. Berbekal senar
cempreng yang terikat pada gitarku, aku mulai memainkan melodi-melodi yang baru
kupelajari shubuh tadi. Seribu, dua ribu, tiga ribu, empat ribu, lima ribu.
Alhamdulillah, siang ini aku mendapat lima ribu. Aku langsung pergi ke tempat
nasi uduk mba Titi, teringat tadi pagi Sera merengek minta nasi uduk. “Ya Allah
ndok, bajumu itu lho, mbok ya diganti gitu, perasaan ibu kamu ga pernah ganti
baju lagi dari 3 hari yang lalu. Bau lho ntar, yaudah nih nasi uduknya”, mba
Titi mulai tidak senang dengan penampilanku. Beh, boro-boro beli baju, makan
aja susah, batinku kesal. Aku memutuskan untuk langsung pergi meninggalkan
mba Titi, dan berlari kecil untuk menemui Sera dan Ari yang sudah menunggu
sejak jam 8 tadi. “YEEEEEEE! Kaka dateng, ayo dek, kita makaaan!!”, jerit Sera
dan langsung menggendong Ari yang setengah mengantuk, dan langsung melotot
melihat aku yang menenteng nasi uduk. “Ini minumnya, bagi dua ya. Ayo kita
makan bareng-bareng”, pintaku lembut. Dibawah pohon rindang kami makan siang
bersama, satu porsi bertiga.
Senja pun tiba, jalanan mulai memadat, orang-orang ‘ber-uang’ itu baru
saja pulang kerja. Dan kami, orang-orang ‘tanpa-uang’ hanya bisa menikmati
matahari yang terbenam, berharap kami dapat merasakan duduk nyaman di dalam
mobil, menikmati perbincangan renyah dengan orang tua. Sial, aku harus
menghentikan khayalanku, dan harus kembali bekerja! Ketika aku melihat kedua
adikku, ada yang tidak beres. Wajah Ari pucat, oh Tuhan, jangan bilang dia sakit.
Sera mulai berkaca-kaca. Aku langsung memeluk Ari, air mataku perlahan turun,
Ari memaksakan dirinya tersenyum. “Tunggu disini, kakak mau nyari obat!”,
perintahku dengan keras. “Obat apa? Maksudku.. kakak tau kan, Ari punya
penyakit ini dari lahir..Mendingan, kakak cari uang, gimana pun caranya biar
adek bisa sembuh. Daripada kita ga bisa liat dia lagi untuk selamanya”, Sera
mulai mengusap wajah Ari yang memucat.
Tanpa basa-basi, aku langsung berlari kencang. Aku mulai mengemis kepada
orang-orang di trotoar. "Bu, uangnya bu..”, “Pak... uangnya pak..”. Tapi
hasilnya masih nihil. Oh Tuhan, untuk kesekian kalinya aku merasa susah. Dan
sampai kapaan? Aku yang merasa frustasi memutuskan untuk duduk atas jembatan,
memikirkan cara apalagi yang harus aku lakukan. Mengemis sudah, Mengamen..
sudah tiap hari aku mengamen, dan butuh waktu berjam-jam untuk mendapatkan uang
minimal 5.000. Tapi aku butuh uang,
sekarang.
Ah, tidak lucu bila aku hanya bisa merenungi nasib. Aku harus melakukan sesuatu. Aku beranjak dan
mulai memutar otak lagi, untuk bisa mendapatkan uang secara instan. Oh sial,
kenapa dipikiranku hanya terbesit..mencuri. Tidak, demi apapun aku tidak mau.
Tapi, teringat kembali wajah Ari pucat seolah sudah tak bernyawa. Sial, sial,
sial. Ada dorongan kuat dalam diriku
untuk mencuri, dan itu semakin kuat ketika aku melihat nenek-nenek, lehernya
dihiasi emas, aku tebak emas itu pasti mahal. Minimal untuk membantu adikku
agar sembuh dari penyakitnya. Jalanan sepi, dan dia menuju ke arahku. Tanpa
pikir-pikir lagi, sreeett dengan mulusnya, kalung tersebut sudah ada
dalam genggamanku. Nenek itu berbalik dan melotot ke arahku. Mengacungkan jari
tengahnya dan meminta agar aku mengembalikkan kalungnya. Aku berlari secepat
kilat. Menembus dinginnya malam, dengan kalung emas dalam genggaman. Aku mulai
bisa tersenyum. Tiba-tiba..“HEH! KAMU BERHENTI! ANAK KECIL BERANI BERANINYA YA
NYURI! GA PUNYA SOPAN SANTUN! GA BERPENDIDIKAN! DASAR KAMU SAMPAH
MASYARAKAT!!!”, glek. Aku menelan ludahku, jantungku seolah lepas, aku
menghentikan langkahku, melemas.
0 komentar:
Post a Comment