09.00 (pagi di sekolah)
Hari ini hari pertama ku menjalani hidup sebagai penyiar radio part time pada sebuah stasiun radio di daerahku ini. Harapanku sudah tercapai kali ini, menjadi penyiar radio. Semoga hari ini aku bisa menjalaninya dengan baik.
11.30 (istirahat di sekolah)
“Tanti!” seseorang memanggilku. Aku masih sibuk dengan buku yang baru saja ku beli sehari setelah hari ulang tahunku. Rasanya berat untuk menoleh barang sekejap kearah sumber suara. Tapi aku yakin dia temanku.
“ya?, ada apa?” masih berkutat dengan buku, aku menjawab panggilannya.
Nafas temanku masih memburu, sepertinya dia telah lama mencariku dengan panic. Aku yang merasa heran menoleh. “Tan, ibu kamu di rumah sakit!” serunya terbata seraya menepis tetesan peluh didahinya.
Aku yang menoleh hanya untuk melihat keadaan temanku yang ngos-ngosan, menjadi terbelalak kaget. Rasa senang menerima pekerjaan baru tadi pagi bahkan itu masih bisa dihitung 2 jam yang lalu, sirna sudah. Entah sebesar apa bogem yang mengenai kepala dan hatiku secara bersamaan. Barita itu bukan hanya berita yang biasa hanya membuatku berdecak menganggap remeh. Ini soal ibu.
13.00 (rumah sakit, ruang tunggu)
Suara riuh rendah memenuhi ruang tunggu rumah sakit milik Negara ini. Aku memangku tubuh lemas ibu. Ini semua diluar dugaanku, dalam fikiranku ibu sudah berada di dalam ruangan yang lebih layak dari pada RUANG TUNGGU ini. Hatiku sudah tak karuan bentuknya, entah perasaan apa yang jelas dalam hati ini. Marah, sedih, kecewa dan segudang rasa yang tak bisa diartikan lagi saat ini. Otakku hanya berfikir dengan abstrak tanpa jelas yang mana yang paling urgen.
Maaku nanar menatap sekitar, air mata mengalir tipis namun tak henti dipipiku yang sebelumnya slalu merona merah karna senang. Ibu ditahan, belum dimasukkan ruangan karna badministrasi rumah sakit yang belum kelar diurus oleh pamanku yang berbaik hati masih mau mengurusi aku dan ibuku saat ayah entah pergi kemana.
“ayo Tanti, bantu ibu kamu berdiri nduk!” perintah paman membuyarkan fikiran-fikiran abstrakku. Aku hanya merespon dengan anggukan mantap dan segera membantu ibu berdiri. Sungguh baru kali ini aku membopong tubuh kurus ibu, sungguh baru kali ini aku membantunya untuk berdiri.
“Bismillah..” bisikku lirih saat berusaha mengangkat tubuh kurus ibu. Aku takut manyakitinya. Hatiku bertambah perih ketika mengangkat tangan ibu untuk mengangkat anggota tubuh yang lain, tangan ibu begitu lemas, bahkan sangat tak ada daya dilamnya, mata ibu hanya menatap sayu dan kosong. Mata yang biasanya memancarkan api semangat hidup yang luar biasa tinggi. Kali ini ibu membutuhkanku untuk menyemangatinya. Kali ini adalah saatku mengurus ibu. Kali ini bagianku bu.
15.25(Bangsal, setelah dari ruang ICU)
Tiiiit….tlililit…tiiit, suara Hpku menghentikan mondar-mandirku di samping ranjang ibu. Segera ku angkat tanpa meliahat siapa yang menelponku disaat genting seperti ini.
“halo assalamualaikum?” ku jawab terlebih dahulu dengan sapaan seperti biasa. Salam.
“waalaikumussalam, dek apa benar ini dengan Tanti Medina?” suara yang sepertnya tak asing lagi di telingaku, aku masih mencoba mengingat suara ini sampai dia menyelesaikan kalimatnya.
“oh, iya, benar dengan saya sendiri, ini dari Tim radio ya?” aku mencoba menebak orang tadi.
“benar sekali, dek maaf kalau mengganggu jam sibuk adek, tapi kita bentar lagi mau On air giliran adek ngisi nih, apa untuk kali ini adek bisa hadir?, kalau seandainy tidak bisa tolong segera konfirmasi kepihak kami, karna adek akan segera digantikan oleh yang lain” aku mendengarkan dengan fikiran yang tidak focus. Namun aku dapat mencerna perkataan itu dengan baik, aku menimbang-nimbang dengan hati sangat bimbang.
“eemmmh.., maaf saya sedang mengurusi ibu saya yang berada dirumah sakt jadi untuk kali ini, saya tidak bisa mengisi terlebuh dahulu, mohon maaf, karna saya tidak menepati janji, anda boleh memotong gaji saya, trima kasih sudah mengonfirmasi saya” aku menjawab pertanyaannya dengan lancar dan tanpa ragu seperti saat aku memikirkannya. Tak apa gajiku dipotong. Tak apa aku tidak mengisi pada ari pertamaku bekerja. Yang terpenting adalah kondisi ibu sekarang.
Percakapan selesai dengan ucapan “cepat sembuh ya ibunya” ucapan yang ramai sekali diucapkan seluruh orang yang ada diruangan itu. Hatiku bergetarmendengar simpatik yang begitu tulus dari rekan-rekan kerjaku yang baru saja ku kenal seminggu ini.
“Tan, kok gak nyiar?” Tanya paman yang baru saja datang dari kantin untuk membeli beberapa roti buatku dan beliau.
“gak apa-apa, wong ibu sakit, masa Tan pergi seenake dewe” balasku dengan senyum mengembang, meskipun tak seperti biasanya. Kali ini aku tersenyum dengan penuh rasa pedih dihati.
“owalah..nduk…nduk.., padahal disini kan ada pamanmu ini, moso kamu ndak percaya sih dengan pamanmu ini?” paman menjawab dengan aksen medok jawa yang sangat kental. Meskipunt tak terdengar nada kecewa pada perkataannya namun aku merasa sedikit bersalah padanya.
“yo, ndak gitu juga tho paman, saya ini juga mau jaga ibu, bantu-bantu paman.” Paman hanya mengangguk dan menepuk bhuku lembut.
Ibu masih terlelap diatas kasurnya. Wajahnya sudah tidak begitu kuyu seperti beberapa jam yang lalu. Namun aku masih teringat dengan pelayanan rumah sakit Negara ini yang begitu mengoyak hati.
09.00 (pagi, rumah sakit)
“nduk, bangun ndak sekolah?” ini suara lirih ibu. Ibu mengusap rambut hitamku yang tumbuh sehat waaupun tidak pernah ke salon. Aku tertidur disisi ranjang ibu.
“ndak bu.., Tan izin ngurus ibu tadi sama kepala sekolah” aku menatap mata ibu yang sudah mulai memancarkan kembali sinar indah itu.
“ooh..” ibunya hanya bergumam sebentar sambil menyunggingkan senyumnya. Membuatku merasa lebih tenang.
“oh iya bu, hari ini Tan ada jadwal siaran. Tan boleh siaran sebentar?” aku bertanya dengan hati-hati takut ibu merasa aku tidak memikirkannya.
“oh, bleh tho nduk, ibu pengen denger anak ibu satu-satunya ini siaran, gimana sh suara indahnya itu On Air di radio” ibu menggodaku dengan candaan ringan ala beliau.
Pipiku bersemu merah karna malu, pamanku hanya tertawamenepuk punggungku. Yah, kali ini aku bertekad untuk siaran. Aku ingin mengeluarkan kekecewaanku terhadap Negara kali ini. Aku sudah bertekad.
15.46 (on Air)
“yak, ini dia yang kita tunggu-tunggu, pemutaran lagu-lagu hasil request dari sahabat-sahabat kita tadi, okey this it!” aku berkotek dengan lancar di depan mic ruangan siaran itu. 15 menit berlalu dengan lantuanan berbagai lagu.
“okey, now I’ll speak about RUMAH SAKIT NEGARA, kenapa tentang ini karna saya meliat Negara ini kurang adil terhadap rakyat miski, terlalu mata duitan dan yah…, maunya menang sendiri. Pemerintah dengarlah, berapa juta jiwa yang meninggal karna tak mampu memenuhi biaya yang tinggi di rumah sakitmu…” aku masih terus berbicara dengan lancar sampai selesai.
Ibu, paman dan seluruh kota mendengarnya bahkan luar kotapun mendengarnya. Semua menyaksikan. Kali ini aku berkata dengan lantang. Puas sudah hatiku.
Teman-teman rekan kerjaku menyalamiku, memelukku menguatkanku. Tanpa sepengetahuanku ibuku dan pamanku beserta seluruh pasien di satu bangsal menitikkan air mata. Langit mencatatnya. Ini protesku, untuk hakku.
(Indira Sarasmitha)
Monday, 7 May 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 komentar:
Post a Comment