Saturday 9 June 2012

“Pancasila dasar negara! Rakyat adil makmur sentosa... Pribadi bangsaku, ayo maju… maju...”

“Saya sebagai orang Indonesia, bangga dengan Pancasila! Pancasila itu Ideologi yang adil.” Seru Arjuna lantang di tengah presentasinya berjudul “Pancasila Ideologiku,” di tengah presentasinya tentang Kewarganegaraan berlangsung di auditorium budaya.

Ia melanjutkan, “Dengan Pancasila semua penganut berbagai ideologi dapat duduk bersama, karena ia dapat diterima orang Islam, orang Kristen, Budha serta banyak lainnya termasuk di dalamnya atheis dan komunis,”.

“Pancasila bukanlah agama dan tak satu agamapun yang berhak memonopoli kehidupan yang dibangun berdasarkan Pancasila.”

Tepuk tangan bergema di seluruh ruangan mendengar ucapan Arjuna.


“Ia juga merupakan dasar negara kita yang toleran, ini dipuji oleh banyak kepala

negara lain. Salah satunya George W. Bush dalam salah satu pidato kenegaraannya saat berkunjung ke Indonesia. Hal senada juga diungkapkan oleh Menteri Luar Negeri Inggris, PM Brown.”

“Ada pertanyaan?” tanya Sang Moderator begitu Arjuna mengakhiri presentasinya kepada para peserta diskusi. Seseorang di ujung ruangan mengacungkan tangan. Moderator mengangguk tanda mempersilahkan.

Tampak seorang gadis manis berkerudung biru muda berdiri. Ia tersenyum ke hadapan seluruh penonton. Wajahnya menyenangkan tapi ada aura berwibawa yang membuat semua peserta diskusi terdiam.

“Saya ingin bertanya sekaligus menyanggah,” ucapnya tenang. Arjuna mengangguk.

“Bisakah Anda menjelaskan kerancuan di sini? Saya tidak mengerti apa maksud penegasan itu. Di satu sisi dinyatakan tak satu agama pun yang boleh mendominasi kehidupan berdasarkan Pancasila. Sementara itu sosialisme ala Pak Sukarno yang dibangun berdasarkan ideologi materialisme dan anti agama yang bertentangan dengan nilai pancasila poin pertama, malah diagung-agungkan. Demikian pula dengan kapitalisme yang dibangun berdasarkan sekulerisme dan ‘setengah’ anti agama yang jelas menimbulkan ketidakadilan global, serta jelas bertentangan dengan nilai Pancasila, justru dipuja-puja?! ”

Hadirin terhenyak mendengarnya. Arjuna tersentak kecil. Pikirannya langsung berkerja keras menyanggah gadis ini.

“Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berusaha mendirikan sebuah negara. Nah, bukan berarti Pancasila anti agama atau agama harus disingkirkan dari ‘rahim’ Pancasila, kan? Karena agama diakui, dilindungi dan dijamin eksistensinya oleh Pancasila. Masing-masing agama berhak hidup dan pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya,” jawab Arjuna sambil tersenyum puas. Pikirnya, pasti gadis dihadapannya tidak bisa membantah lagi.

Hadirin pun merasakan jawaban Arjuna tepat. Mereka yang setuju dengan Arjuna menghembuskan napas lega. Namun, gadis kecil ini tampak semakin tersenyum mendengar jawaban Arjuna.

“Baiklah, jika itu pendapat Anda. Hem... artinya dengan nilai dan visi ketuhanan pada sila pertama, arah Indonesia bukanlah negara sekuler juga bukan sosialis komunis maupun kapitalis-liberal, begitu?”

Arjuna mengangguk kecil, tergagap mengiyakan.

“...berarti sangat ganjil dan aneh jika agama-khususnya Islam-hendak disingkirkan dan dibuang jauh-jauh dari kehidupan, dengan logika tidak boleh ada satu agama (kebenaran) yang mendominasi. Karena dalil tersebut, dewasa ini hak umat Islam untuk menjalankan syariat agamanya selalu dibenturkan dengan Pancasila dan UUD 45.” gadis ini terdiam sebentar, menghela napas dalam-dalam. Ia belum selesai.

“Karena itu, logika seperti ini sangat –maaf– absurd dan tidak jelas. Selalu dipaksakan segelintir orang kepada mayoritas rakyat di negeri ini.”

“Apa maksud Anda?” sela Arjuna cepat. Mukanya padam.

“Logika bahwa –tidak boleh ada satu agama pun yang mendominasi– itu sebuah bentuk ketidakkonsistenan cara berpikir. Karena pada saat yang sama ada yang sedang mendominasi dengan sebuah ide : menyingkirkan agama dari kehidupan. Mereka mendominasi, dan artinya tidak konsisten dengan pendapat ‘tidak ada yang boleh mendominasi’.”

Gadis ini terhenti, memperhatikan hadirin yang mulai mendengung mendengar pendapatnya.

“Cara berpikir seperti ini tidak jujur (maaf) bahkan cenderung licik. Karena selalu menggunakan Pancasila dan konstitusi untuk melawan agama, padahal jelas ada nilai agama di sila pertama. Tidak jujur, karena tidak mau menerima kenyataan bahwa demokrasi yang katanya sangat Pancasila dan kompatibel dengan Islam. Ketika rakyat mayoritas menuntut kehidupan mereka diatur syariat, mengapa harus dibenturkan dengan pancasila dan ditolak. Padahal ini adalah suara mayoritas. Bukankah itu prinsip demokrasi? Vox Populi Vox Dei?”

“Kalau kepicikan dan kejujuran seperti ini terus dipraktikkan, kalangan kaum muslim yang masih menerima demokrasi pun pada akhirnya akan muak, dan umat Islam akan membuktikan sendiri bahwa demokrasi hanyalah jargon kaum kapitalis-sekuler untuk mempertahankan kepentingan mereka.” Tukas gadis ini menghentak seluruh peserta diskusi memaksa mereka berpikir dan menginstropeksi Pancasila dan demokrasi.

“Anda berlebihan!” seru salah seorang penonton. Hadirin kembali mendengung.

“Seperti kata Arjuna tadi, Pancasila adalah kumpulan value dan vision maka sebenarnya Arjuna dengan sendirinya telah membantah bahwa Pancasila adalah ideologi.” Gadis ini tak menghiraukan seruan penonton tadi, malah hadir dengan pendapat yang mengentakkan mereka kembali.

Arjuna berdehem, “Pancasila adalah pemikiran anak bangsa yang menjadi dasar negara ini. Maka UUD didasarkan pada Pancasila. Pemikiran dasar dinamakan ideologi,” bantah Arjuna cepat.

Gadis ini menggeleng, “ Ideologi harus punya metode dan kekuatan. Tidak hanya sekumpulan teori (values dan visions). Mana buktinya Pancasila menjadi dasar negara? Lihatlah ekonomi negeri ini berlandaskan ekonomi sekuler, bukan pancasila. Pergaulan anak bangsa yang sebebas-bebasnya adalah sistem sosial liberal bukan sistem sosial pancasila. Hukum negeri mayoritas muslim ini memurnikan pasal-pasalnya dari agama artinya ia hukum sekuler bukan hukum pancasila. Ini ganjil karena secara fakta Pancasila tidak punya metode yang jelas. Ia mudah dimasuki. Bahkan saya lihat ia tidak punya metode dan kekuatan sama sekali, maka ia bukan ideologi,”

Arjuna diam-diam gemetar, apa yang gadis ini katakan benar. Bahwa Pancasila mudah dimasuki kepentingan karena Pancasila adalah Open Idea dan Open Value, sebagaimana dikatakan Presiden SBY pada 1 Juni 2006. Maka, dengan mudah kaum kapitalis-liberalis dapat mengklaim Pancasila sesuai dengan mereka karena ada nilai demokrasi pada salah satu silanya. Kaum sosialis-komunis juga akan keukeuh berpendapat Pancasila memihak mereka. Sedangkan, Islam juga merasa Pancasila sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Padahal Ideologi mempunyai karakteristik tegas dan khusus serta tidak mudah digoyahkan.

“Mochtar Pabottinggi, pengamat politik LIPI juga mengatakan bahwa Pancasila bukanlah ideologi negara, melainkan vision of state yang mendahului berdirinya Republik Indonesia. Visi itu kemudian dituangkan dalam pasal 29 UUD 1945, yang menyatakan “negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Artinya, dengan visi itu, para pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara yang dibangun bukanlah negara sekuler.”

“Oleh karena itu, tidak ada satupun pasal dalam UUD 1945 yang menolak agama dijadikan sebagai sumber hukum. Bahkan, banyak pakar hukum Indonesia yang memberikan penegasan bahwa Islam merupakan salah satu sumber hukum nasional. Maka, penegasan bahwa Pancasila bukanlah agama dan agama tidak boleh menjadi dasar, adalah memonopoli kebenaran.” Setenang air yang mengalir dan sebening suara embun yang menetes suara gadis ini menyusupkan kebenaran ke sanubari para peserta dan hadirin. Ketenangan tampak dari wajah gadis ini.

Ia menghela napas sejenak, lalu menambahkan dengan berapi-api namun dibungkus kelemahlembutan dan kesopanan tutur kata, “Pancasila adalah open Idea (Ide terbuka) atau Open Value (nilai terbuka), ini dikatakan sendiri oleh SBY dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 2006, maka seharusnya kontribusi agama dalam membimbing visi yang dicita-citakan tidak boleh dibendung. Dan saya menyatakan Islamlah satu-satunya agama yang dapat membimbing seluruh aspek kehidupan,”

Hadirin sontak terkejut. Gadis kalem ini menyatakan sesuatu yang menurut mereka sungguh beresiko. Keriuhan di kubu peserta dan penonton terjadi.

“Apa alasan Anda, sepertinya jawaban Anda terlalu egoistik,” desis Arjuna tajam.

Salah satu peserta diskusi mengangkat berdiri, “ Apakah kontribusi agama, tepatnya penerapan syariat Islam tidak akan mengancam keharmonisan warga negara yang memiliki keyakinan dan agama yang berbeda-beda alias plural?”

Suasana kembali hening, sekarang semua mata tertuju pada gadis manis berkerudung biru. Menunggu jawaban apalagi yang akan menghentak kesadaran mereka. Jawaban apa yang akan membuat akal pikiran mereka menerima dan hati mereka tunduk pada kebenaran Islam.

“Mari jujur melihat fakta.” Serunya tenang. Namun seakan tajam mencungkil kerak-kerak ketidakjujuran di hati peserta diskusi.

“Pertama, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Sedangkan agama lain tidak mempunyai syariat yang mengatur urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, politik luar negeri. Agama-agama itu hanya mengatur urusan-urusan ibadat, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai...”

Arjuna tersentak, akalnya seakan terang benderang. Perlahan ia setuju dengan pendapat gadis ini. Ia juga mengakui kebenaran yang dibawakan olehnya.

“Kedua, sebagai agama yang menoleransi kemajemukan agama warga negara, Islam memandang bahwa aturan peribadatan, cara berpakaian, makan, minum, kawin dan cerai agama lain diserahkan pada pemeluknya. Islam menjamin ini.”

“Ketiga, bila syariat Islam –dalam posisi produk hukum sebagaimana hukum yang dihasilkan ideologi kapitalisme atau sosialisme– diambil sebagai aturan negara yang memiliki kemajemukan agama, maka penerapan syariat Islam –sebagaimana juga produk hukum dari ideologi lain– bersifat mengikat dan memaksa semua warga negara adalah hukum-hukum bersifat umum, seperti urusan ekonomi, politik, pendidikan, sanksi hukum, dan politik luar negeri.”

“Dengan begitu tidak akan terjadi benturan antara muslim dan non muslim?” celetuk seseorang. Gadis itu mengangguk.

“Benar. Kita juga tidak berpura-pura lupa, bukan? Secara historis, kondisi itu telah dibuktikan oleh sejarah Islam sepanjang 800 tahun, ketika Spanyol dalam dekapan Islam. Tiga agama besar yaitu Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup berdampingan. Masing-masing pemeluknya bebas menjalankan syariat agamanya, dijamin oleh negara. Ini diabadikan oleh banyak sejarawan, Hutington ataupun Mc I Dimon dalam bukunya Spain in three Religion.”

“Kita Indonesia, bukan Spanyol!” bantah salah satu peserta menanggapi kata-kata gadis ini.

“Untuk kasus Indonesia, kita tidak mungkin bukan menyingkirkan fakta bahwa: pertama, Islam telah tumbuh dan berkembang di Indonesia lebih dari 500 tahun. Kedua, Islam dianut mayoritas, sekitar 87%. Ketiga, hukum Islam hidup di masyarakat Indonesia lebih dari 500 tahun, sehingga sudah menjadi law of life (hukum yang hidup).”

Gadis ini berhenti sejenak menatap hadirin. Mencoba membaca apa yang mereka pikirkan. Semua menunggu kalimat lanjutan gadis ini.

Dengan anggun ia mengakhiri pendapatnya, “Wajar jika syariah Islam menjadi sumber hukum di Indonesia. Aneh malah kalau ada yang menentangnya,”

Opininya membuat semua tercenung dan berpikir. Islam sebagai satu-satunya solusi adalah keniscayaan bukanlah hal egois atau tabu.

Plok....plok...plok...

Tiba-tiba suara tepuk tangan bergema dari depan panggung, Arjuna tersenyum. “By The Way, Anda belum mengenalkan nama Anda, ”Wajah gadis itu mendadak tersipu, “Maaf, nama saya Aisha.”

***









Permintaan maaf buat para pembaca yang merasa serial J’Aish kali ini kepanjangan. Penulis juga merasa begitu, kok. Namun, dibalik itu semua sebenarnya kita Cuma mau buat pembaca perlahan baca bacaan yang berbobot. Jadi, nggak keliyengan Cuma gara-gara bahasanya berat dikit.

Last, kritik dan sarannya selalu ditunggu.

-Penulis-

0 komentar:

Post a Comment

Unordered List

Sample Text

Member Blogs

Total Pageviews

JAISH. Powered by Blogger.

Followers

What is JAISH?

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
JAISH (Journalist Asossiation of Insantama Senior Highschool) adalah sebuah club yang bergerak di bidang jurnalis di SMAIT Insantama Bogor

Cari Artikel

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget