Saturday, 21 April 2012

Kriek...kriek...kursi goyang tua itu berayun maju mundur stabil. Mengayun-ayun lembut wanita tua yang duduk di atasnya. Setiap satu ayunan akan berbunyi kriek...kriek...dua kali. Begitu terus sepanjang pagi dan sore setiap hari.

Wanita tua itu pada hakikatnya tidak sedang bermalas-malasan, ia sedang menunggu, menunggu dan terus menunggu. Menunggu seseorang. Rambut dan kulitnya menunjukkan ia sudah berumur, mungkin sekitar enam puluh tahun atau lebih. Ia tak pernah mau bercerita pada petugas panti jompo. Namun, jika sesuai data ia hari ini tepat berumur enam puluh delapan tahun. Ah, ia berulang tahun hari ini. Selamat ulang tahun nenek.


Namun lihatlah, matanya menatap kosong ke depan. Padahal di depannya terdapat karangan bunga dan kue ulang tahun yang berukuran besar. Hingga petugas delivery kue tart hanya sanggup meletakkannya di pelataran. Kue terbaik dari brakery terbaik di kota ini tergeletak di atas meja menganggur.

Tahukah kalian, jauh di lubuk hatinya ia sedang menunggu, setiap hari menunggu, terus menunggu. Ia terus menatap hampa dan duduk pasrah di kursi goyang setiap hari. Jika jeli dan kenyang makan asam garam kehidupan, kalian pasti tahu tatapan itu juga menjelaskan hal lain, yaitu penyesalan dan putus asa. Penyesalan akan banyak hal dalam hidupnya. Penyesalan yang membuat ia terdampar di panti jompo seperti hari ini. Penyesalan yang membuat ia harus nelangsa terus menunggu seperti pagi ini. penyesalan yang memaksa ia untuk menerima semua akibat. Akibat baikkah? Entahlah simpulkan sendiri dari tatapan matanya. Begitu terluka.

Tahukah kalian siapa yang ditunggunya? Tahukah kalian apa yang membuatnya menyesal? Itu karena... Ah lihat, lihat itu ada gadis manis yang masuk ke dalam ruangan.

“Assalamu’alaikum, Bunda...” seseorang mengucap salam, gadis berkerudung biru muda masuk tersenyum cerah. Tatapan mata wanita itu teralihkan sejenak dari kekosongan.

“ Selamat pagi! Bunda sudah makan?” ia tanpa basa-basi membuka pintu kamar wanita itu. Dengan cepat, ceria, dan bersemangat ia menyiapkan piring-piring kecil. Membuka rantang bersusun, mengindangkan di meja dorong samping wanita tua itu. Sesaat matanya terkejut kaget karena ada kue tart bersusun tinggi di meja lainnya di pelataran. Mata beningnya membesar,

“Aih, Bunda ulang tahun? Duh, lupa... Selamat Ulang tahun ya Bunda!” spontan gadis berkerudung biru itu memeluk tubuh tua ringkih wanita tersebut. Senyum mengembang lebar di bibir wanita itu, spontanitas yang menyenangkan. Spontanitas yang sedikitnya mampu menghangatkan hatinya.

Maaf, kawan aku lupa menceritakan bagian ini. Meskipun wanita tua itu begitu menyedihkan dikungkung oleh semua akibat dari masa lalunya, ia masih diberi kebaikan Tuhan dengan adanya gadis itu. Gadis yang senantiasa hadir di setiap pagi dan sore untuk menjenguknya, menghiburnya, merawat dan apapun yang harusnya seorang anak lakukan untuk mengabdi pada orangtuanya yang sudah lanjut usia.

Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Bukankah begitu kawan firman dari Tuhan Yang Maha Pengasih, Allah Tuhan seluruh alam.

“Maaf, ya Bunda, Kartini lupa,” seru gadis berkerudung biru itu masih dengan tangan melingkar di bahu wanita tua itu. Senyum tulusnya membuat wanita itu balas tersenyum padanya.

“Sebagai ganti hadiah, Kartini akan menemani Bunda jalan-jalan ke manapun Bunda mau!” lihat betapa menyenangkannya gadis itu, betapa bersyukurnya wanita itu memilikinya. Kasih seorang anak yang tak bercela.

Akan tetapi, penantian itu belum terbayar dengan adanya Kartini malah mungkin semakin tumbuh mengakar, penyesalan itu masih sama besar. Seseorang itu masih terus ditunggunya.

Jika kalian bertanya-tanya sebenarnya apa yang terjadi, aku tahu jawabannya. Maukah kalian mendengar sedikit kisah tentang wanita tua ini. Tentang definisi penantian, tentang definisi penyesalan. Kan kucoba memutar ulang slide-slide masa lalu tersebut. Bersiaplah.

40 tahun yang lalu,

“Kartini!” gadis cantik berparas rupawan, mendongak mendengar panggilan itu.

“ Gimana proyek KKGnya? Sukses tembus DPR?” tanya temannya Sartika. Kartini tersenyum mengacungkan jempol. Proyek Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) adalah pilot projectnya bersama teman-teman pejuang Emansipasi Wanita. Ia sebagai Project Officer utama proyek ini. Ia diamanati IFO (International Feminisme Association) untuk segera melakukan upaya-upaya pelegalan pasal-pasal CEDAW untuk dilegalisasi oleh pemerintahan Indonesia. Ia termasuk jajaran tokoh feminisme Internasional di Indonesia saat itu.

“ Loe emang hebat! Oh, ya gimana apa loe mau nerima lamaran Andri kemarin? Dia benar-benar pemuda yang baik bukan?” Sartika kembali menimpali.

Kartini tertawa, “ Tentu saja, asal dia harus tetap adil, fifty-fifty, dia berkarier, gue juga harus boleh berkarir, dia kerja gue berarti juga harus boleh kerja,”

“Bener, udah nggak zamannya wanita tidak mengembangkan kemampuan dan keahliannya di masyarakat, wanita juga bisa berbuat banyak untuk dunia,” Sartika mengangguk-angguk.

Seingatku Kartini adalah wanita yang cerdas, mandiri, aktif, dan cantik. Pada akhirnya ia menikah dengan pemuda itu. Sungguh cocok pasangan ini, yang satu tampan dan satunya cantik. Belum lagi keduanya adalah aktivis tulen.

Sekilas, pernikahan ini tampak damai dan bahagia. Namun, ketika aku mengunjunginya lima tahun setelah itu, kulihat Andri sedang menimang bayi kecil, memandikan, mengurus bayi mungil nan cantik itu. Namun, matanya terluka kecewa, karena pekerjaan itu harusnya dilakukan oleh seorang Ibu. Bukan dirinya.

Ke mana ibunya? Kabarnya Kartini sedang melakukan pertemuan IFO di New York dan melakukan kunjungan-kunjungan bersama teman-teman IFOnya ke penjuru Asia selama satu bulan untuk menggencarkan ide Feminismenya, Emansipasi Wanita.

Keesokan harinya, aku kembali mengunjunginya sekilas. Dari kaca jendela kulihat bayi mungil nan lucu itu sedang dirawat oleh Baby Sitternya. Suasana rumah mewah itu lengang. Tak terlihat Kartini maupun Andri. Hanya ada Baby Sitter yang sedang meninabobokkan bayi perempuan cantik bernama Adinda Kartini Andriansyah. Nama yang bagus bukan? Perpaduan nama kedua orang tuanya, Kartini dan Andri.

Dimana Andri? Aha, coba tengok ke kantornya? Tidak ada. Aku coba mencari sekali lagi. Ternyata Andri berada di Lobi Bandara sedang menunggu pesawat untuk perjalanan bisnisnya ke Eropa selama seminggu.

Bagaimana nasib Kartini kecil? Ia ditinggalkan kedua orangtuanya disana sendirian bersama babysitter. Selama sebulan oleh ibunya, selama seminggu oleh ayahnya. Ccck... orangtua mana yang tega meninggalkan bayi selucu itu berhari-hari?! Apalagi seorang ibu?! Dan ibu itu adalah Kartini. Dan ayah itu adalah Andri. Dua manusia dengan tingkat pendidikan S3.

Apa yang terjadi dengan bayi itu setelahnya? Baiklah, mari kita tengok. Bersiaplah!

20 Tahun setelah itu.

Kartini telah mendidik anaknya -Kartini muda- dengan sukses besar. Azas-azas feminisme meresap pada jiwa dan raga Kartini muda begitu kuatnya. “Kamu tidak boleh lemah dihadapan lelaki. Lelaki hanya sosok pengekang kaum perempuan,” begitulah kalimat yang sering digaungkan ibunya. Dan Kartini muda mengerti benar apa yang dimaksud ibunya. Ia pun menjadi aktivis Emansipasi dua kali lebih militan daripada ibunya. Kartini muda bahkan mengambil keputusan tidak akan menikah. Jika ingin memiliki anak, cukup mengambil dari bank sperma saja.

Bagaimana dengan ayahnya? Peristiwa dua puluh tahun lalu sering berulang. Bahkan frekuensinya menjadi sering. Andri tidak tahan lagi, ia meminta Kartini untuk lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Kartini menolak, membantah bahwa seharusnya Andri mengerti. Seharusnya merawat Kartini kecil dilakukan bergantian. Fifty-Fifty. Andri menggeleng. Ini keterlaluan. Akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah. Rumah tangga yang menyedihkan.

20 tahun setelahnya,

“Bunda masih menunggu Kak Kartini?” tanya Kartini berjilbab biru yang sedang memeluk wanita tua yang juga bernama Kartini. Hahaha, lucu sekali perihal ini. Ada tiga wanita bernama Kartini dalam satu bingkai cerita kehidupan. Maaf..maaf..maaf.. sekali lagi, aku lupa menjelaskan siapa Kartini ketiga ini.

Kartini Rahmatullah, bukan siapa-siapa Bunda Kartini. Hanya seorang gadis baik hati yang punya nasib yang sama dengan Adinda Kartini Andriansyah anak wanita tua itu. Dididik ibunya, dengan didikan feminisme yang kuat.

Namun, sekali lagi, nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan? Kartini Rahmatullah menggunakan akalnya dengan baik, ia merasakan keganjilan luar biasa pada konsep Emansipasi Wanita yang digiatkan ibunya. Ia akhirnya sampai pada pengertian bahwa konsep Islam begitu indah, Islam memandang keluarga sebagai ikatan yang positif antara laki-laki dan perempuan. Masing-masing punya hak dan kewajiban yang berbeda. Dan terutama landasan ketakwaan kepada Allah.

Bunda Kartini tersenyum, namun matanya tak bisa berbohong. Ia sesungguhnya menunggu anak kandungnya, berharap darah dagingnya itu datang hari ini. Juga bukan hari ini saja, tetapi hari-hari lainnya.

Betapa sakitnya sebuah penyesalan. Bukan begitu kawan? Ialah yang mengajarkan konsep kebebasan dan emansipasi pada buah hatinya secara mutlak. Kehidupan bebas, tidak adanya ikatan orangtua dan anak membuat nasib wanita tua ini begitu malang. Ditelantarkan di panti jompo karena alasan kesibukan seorang gadis. Gadis yang seharusnya bertugas menjaga dan merawatnya.

“Tahukah Bunda tentang Khilafah Islamiyah? Negara Islam yang menaungi umat Islam di seluruh dunia? Berlandaskan Islam secara sempurna. Tidak akan lagi ada eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, penganiayaan dan perlakuan tidak layak. Sehingga Insya Allah tidak akan ada cerita wanita teraniaya, yang melahirkan ide-ide Emansipasi dan Feminisme,” kata Kartini Rahmatullah.

Kartini melanjutkan, “ Bunda... maka tidak mungkin bagi perempuan bisa menikmati kebahagiaan, ketenangan, dan memperoleh hak-haknya kecuali dengan Islam, dan dengan institusi yang menaunginya, Daulah Khilafah Islamiyah....”

Bunda Kartini meneteskan air mata, sebenarnya ia sungguh tahu hal itu. Bahkan sejak masa mudanya. Namun, dulu ia terlalu sombong untuk menerima kebenaran itu. Bunda Kartini menangis sesenggukan sempurna. Makna penyesalan sungguh-sungguh telah ia rasakan. Ia harap ampunan Allah masih terbuka luas.

Itulah adegan terakhir sebelum kepergianku tahun ini kawan. Ah ya, Aku benar-benar pelupa, perkenalkan aku angin muson timur. Aku akan kembali lagi tahun depan.

*** .[Zwanisha]

0 komentar:

Post a Comment

Unordered List

Sample Text

Member Blogs

Total Pageviews

JAISH. Powered by Blogger.

Followers

What is JAISH?

My photo
Bogor, Jawa Barat, Indonesia
JAISH (Journalist Asossiation of Insantama Senior Highschool) adalah sebuah club yang bergerak di bidang jurnalis di SMAIT Insantama Bogor

Cari Artikel

Popular Posts

Recent Posts

Text Widget